Rabu, 12 Mei 2010

Kemusykilan Dalam Hadits Mengusap Tengkuk (Leher) Dalam Wudhu

Setelah sebelumnya mengatakan bahwa hadits tentang mengusap tengkuk ketika berwudhu itu tidak ada yang shohih (padahal sebenarnya ada dan bisa dibaca di artikel ini), para mantan LDII menulis lagi seperti berikut:

===================================
Lalu datanglah sebagian orang yang kurang paham permasalahan ini, menuduh kami tidak pernah membaca dan jahil tentang hadits Abdullah bin Zaid dalam riwayat Bukhori, yang berbunyi:

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ عَمْرِو بْنِ يَحْيَى الْمَازِنِيِّ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِعَبْدِ اللَّهِ بْنِ زَيْدٍ وَهُوَ جَدُّ عَمْرِو بْنِ يَحْيَى أَتَسْتَطِيعُ أَنْ تُرِيَنِي كَيْفَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَوَضَّأُ فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ زَيْدٍ نَعَمْ فَدَعَا بِمَاءٍ فَأَفْرَغَ عَلَى يَدَيْهِ فَغَسَلَ مَرَّتَيْنِ ثُمَّ مَضْمَضَ وَاسْتَنْثَرَ ثَلَاثًا ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلَاثًا ثُمَّ غَسَلَ يَدَيْهِ مَرَّتَيْنِ مَرَّتَيْنِ إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ ثُمَّ مَسَحَ رَأْسَهُ بِيَدَيْهِ فَأَقْبَلَ بِهِمَا وَأَدْبَرَ بَدَأَ بِمُقَدَّمِ رَأْسِهِ حَتَّى ذَهَبَ بِهِمَا إِلَى قَفَاهُ ثُمَّ رَدَّهُمَا إِلَى الْمَكَانِ الَّذِي بَدَأَ مِنْهُ ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيْهِ

Telah menceritakan kepada kami 'Abdullah bin Yusuf, dia berkata, telah mengabarkan kepada kami Malik dari 'Amr bin Yahya Al Mazini dari Bapaknya bahwa ada seorang laki-laki berkata kepada 'Abdullah bin Zaid, dia ini adalah kakek dari 'Amr bin Yahya: "Bisakah engkau perlihatkan kepadaku bagaimana Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam berwudhu?". 'Abdulloh bin Zaid lalu menjawab, "Tentu." Abdulloh lalu minta diambilkan air wudhu, lalu ia menuangkan air pada kedua tangannya dan membasuhnya dua kali, lalu berkumur dan mengeluarkan air dari dalam hidung sebanyak kali, kemudian membasuh mukanya tiga kali, kemudian membasuh kedua tangan dua kali dua kali sampai ke siku, kemudian mengusap kepalanya dengan dua tangan, dimulai dari bagian depan kepalanya (bagian atas dahinya) dan menariknya hingga sampai tengkuk, lalu menariknya kembali ke tempat semula. Kemudian setelah itu membasuh kedua kakinya."
===================================

Sayangnya, inilah kekurangan orang-orang mantan LDII. Mereka terlalu percaya dengan ucapan-ucapan orang-orang arab. Padahal, ucapan orang arab itu belum tentu benar. Zaman dahulu, Nabi lahir di arab. Apakah tempat Nabi lahir itu sudah Islam semua? Tentu tidak. Justru Nabi meluruskan mereka dan mengajak mereka masuk Islam. Kembali ke ulama arab. Apakah ucapan mereka---karena mereka tinggal di arab dan bisa berbahasa arab---lalu bisa dijadikan pegangan? Nanti dulu...

Mereka menjelaskan hadits Bukhori di atas seperti ini:

===================================
حَتَّى ذَهَبَ بِهِمَا إِلَى قَفَاهُ

menarik kedua tanganya hingga sampai tengkuk

Yaitu bahwa batas tarikan usapan adalah tengkuk, artinya tarikan usapan tidak boleh sampai menyentuh tengkuk cukup sampai kepala bagian belakang, sebagaimana awal tarikan adalah dahi, sedangkan dahi seperti kita ketahui tidak wajib diusap karena tidak termasuk kepala.
===================================

Anda yang cukup bisa berbahasa Indonesia, tentulah tahu bahwa di sana tertulis sampai tengkuk. Adakah penjelasan tidak bolehnya mengenai tengkuk? Selain itu, jika memang benar sampai tengkuk itu adalah batasannya, apakah ada larangan untuk mengusap tengkuk? Seperti sewaktu Abu Huroiroh mengusap air wudhunya sampai ketiak (padahal hanya disyaratkan sampai siku), apakah ada larangan? Justru Abu Huroiroh melakukannya agar wudhunya lebih sempurna.

حَدَّثَنَا حُسَيْنُ بْنُ مُحَمَّدٍ قَالَ حَدَّثَنَا خَلَفٌ يَعْنِي ابْنَ خَلِيفَةَ عَنْ أَبِي مَالِكٍ الْأَشْجَعِيِّ عَنْ أَبِي حَازِمٍ قَالَ كُنْتُ خَلْفَ أَبِي هُرَيْرَةَ وَهُوَ يَتَوَضَّأُ وَهُوَ يُمِرُّ الْوَضُوءَ إِلَى إِبْطِهِ فَقُلْتُ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ مَا هَذَا الْوُضُوءُ قَالَ يَا بَنِي فَرُّوخَ أَنْتُمْ هَاهُنَا لَوْ عَلِمْتُ أَنَّكُمْ هَاهُنَا مَا تَوَضَّأْتُ هَذَا الْوُضُوءَ إِنِّي سَمِعْتُ خَلِيلِي يَقُولُ تَبْلُغُ الْحِلْيَةُ مِنْ الْمُؤْمِنِ إِلَى حَيْثُ يَبْلُغُ الْوُضُوءُ

Telah menceritakan kepada kami Husain bin Muhammad telah menceritakan kepada kami Kholaf -yaitu Ibnu Kholifah- dari Abu Malik AlAsyja'i dari Abu Hazim, berkata dia; "Aku berada di belakang Abu Huroiroh ketika dia sedang berwudhu, dan meratakan air wudhunya hingga ketiaknya, maka akupun bertanya; "Wahai Abu Huroiroh, wudhu apa ini?" ia menjawab; "Wahai bani Farruh, ternyata kamu berada di sini, kalau saja aku mengetahui bahwa kamu berada di sini niscaya aku tidak akan berwudhu seperti ini, sesungguhnya aku mendengar kekasihku (Nabi) bersabda: "Ukuran perhiasan seorang mukmin (di akhirat) menurut kesempurnaan wudhu`nya."

Di hadits yang lain bahkan menyebutkan bahwa bagian tubuh yang terkena air wudhu tidak akan terkena api neraka.

Jadi, tidak ada larangan untuk mengusap tengkuk, bukan? Selain itu, apakah salah jika mengusap tengkuk dilakukan agar wudhu lebih sempurna?

Berikut postingan lengkap mereka, agar saya tidak dikatakan mengada-ngada.

===================================
Dahulu imam hizbi mencontohkan wudhu dengan mengusap tengkuk (leher) bahkan tidak cukup dengan itu, ia pun menggosok-gosokannya sebentar lalu menariknya kedepan tanpa (langsung) membasuh telinganya. Maka pengikutnya yang setia mengikutinya seperti biasanya.


Ketika kami menggulirkan lemahnya semua hadits tentang mengusap tengkuk (leher) dalam wudhu, dan kesalahan tidak langsung mengusap telinga, yakni seharusnya mereka tidak mengambil air yang baru ketika mengusap telinga, marahlah mereka!!! Lalu mencoba mencari-cari hujjah dihadapan pengikutnya yang awam. Padahal kembali kepada kebenaran bukanlah hal yang aib.

Sebenarnya tentang bid’ahnya perbuatan mengusap tengkuk (leher) dan mengosok-gosoknya, bukan pendapat baru yang dimunculkan oleh kami, akan tetapi ini juga adalah pilihan ulama terdahulu karena memang tidak ditemukan dalil shahih tentang masalah ini.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu dalam Majmu Al-Fatawa (21/127-128):

" لم يصح عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه مسح على عنقه في الوضوء ، بل ولا روي عنه ذلك في حديث صحيح ، بل الأحاديث الصحيحة التي فيها صفة وضوء النبي صلى الله عليه وسلم لم يكن يمسح على عنقه ; ولهذا لم يستحب ذلك جمهور العلماء كمالك والشافعي وأحمد في ظاهر مذهبهم"

“Tidak benar dari Nabi shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam bahwa beliau mengusap lehernya dalam wudhu, bahkan tidak diriwayatkan hal tersebut dari beliau dalam hadits yang shahih. Bahkan hadits-hadits shahih, yang di dalamnya ada (penjelasan) sifat wudhu Nabi shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam , (menerangkan bahwa) beliau tidak mengusap lehernya. Karena itulah, hal tersebut tidak dianggap sunnah oleh Jumhur Ulama seperti Malik, Ahmad dan Syafi’i dalam zhahir madzhab mereka”.

Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata dalam Zadul Ma’ad (1/195):

ولم يصح عنه (صلى الله عليه وسلم) في مسح العنق

“Tidak ada satu hadits pun yang benar dari beliau (shallallahu ’alaihi wasallam) tentang mengusap leher”.

Semisal ini juga menurut An-Nawawi, As-Syaukani dan lainnya dari ulama terdahulu.

Ketika Mufti Arab Saudi Syaikh Abdul Aziz bin Bazz rahimahullahu ditanya tentang masalah ini beliau berkata:

لا يستحب ، ولا يشرع مسح العنق ، وإنما المسح يكون للرأس والأذنين فقط ، كما دل على ذلك الكتاب والسنة .

“Tidak disukai dan tidak disyari’atkan mengusap leher, adapun mengusap yang disyari’atkan adalah mengusap kepala dan dua telinga saja, sebagaimana terdapat (dalilnya) dalam Kitabullah dan Sunnah”. (Majmu Fatawa Syaikh Bin Bazz (10/102)).

Dan demikian pula menurut Lajnah Daimah (Syaikh Abdullah Qu’ud, Syaikh Abdullah Al-Ghudayan, Syaikh Abdurrazaq Afifi dan Syaikh Abdul Aziz bin Bazz) dalam Fatawa (5/235-236), Syaikh Shalih Fauzan dalam Al-Muntaqo min Fatawa (5/no.6), Imam Al-Albani, Syaikh ibnu Utsaimin, Syaikh Ibnu Jibrin, Syaikh Shalih Alu Syaikh dan lainnya dari ulama masa kini yang tidak mungkin kami sebutkan satu persatu.

Lalu datanglah sebagian orang yang kurang paham permasalahan ini, menuduh kami tidak pernah membaca dan jahil tentang hadits Abdullah bin Zaid dalam riwayat Bukhori, yang berbunyi:

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ عَمْرِو بْنِ يَحْيَى الْمَازِنِيِّ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِعَبْدِ اللَّهِ بْنِ زَيْدٍ وَهُوَ جَدُّ عَمْرِو بْنِ يَحْيَى أَتَسْتَطِيعُ أَنْ تُرِيَنِي كَيْفَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَوَضَّأُ فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ زَيْدٍ نَعَمْ فَدَعَا بِمَاءٍ فَأَفْرَغَ عَلَى يَدَيْهِ فَغَسَلَ مَرَّتَيْنِ ثُمَّ مَضْمَضَ وَاسْتَنْثَرَ ثَلَاثًا ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلَاثًا ثُمَّ غَسَلَ يَدَيْهِ مَرَّتَيْنِ مَرَّتَيْنِ إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ ثُمَّ مَسَحَ رَأْسَهُ بِيَدَيْهِ فَأَقْبَلَ بِهِمَا وَأَدْبَرَ بَدَأَ بِمُقَدَّمِ رَأْسِهِ حَتَّى ذَهَبَ بِهِمَا إِلَى قَفَاهُ ثُمَّ رَدَّهُمَا إِلَى الْمَكَانِ الَّذِي بَدَأَ مِنْهُ ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيْهِ

Telah menceritakan kepada kami 'Abdullah bin Yusuf, dia berkata, telah mengabarkan kepada kami Malik dari 'Amr bin Yahya Al Mazini dari Bapaknya bahwa ada seorang laki-laki berkata kepada 'Abdullah bin Zaid, dia ini adalah kakek dari 'Amr bin Yahya: "Bisakah engkau perlihatkan kepadaku bagaimana Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam berwudhu?". 'Abdulloh bin Zaid lalu menjawab, "Tentu." Abdulloh lalu minta diambilkan air wudhu, lalu ia menuangkan air pada kedua tangannya dan membasuhnya dua kali, lalu berkumur dan mengeluarkan air dari dalam hidung sebanyak kali, kemudian membasuh mukanya tiga kali, kemudian membasuh kedua tangan dua kali dua kali sampai ke siku, kemudian mengusap kepalanya dengan dua tangan, dimulai dari bagian depan kepalanya (bagian atas dahinya) dan menariknya hingga sampai tengkuk, lalu menariknya kembali ke tempat semula. Kemudian setelah itu membasuh kedua kakinya."

Dan sebenarnya mereka lah yang kurang paham. Hadits ini tidak ada isyarat akan wajibnya mengusap tengkuk/leher dalam wudhu apalagi mengosok-gosoknya. Oleh sebab itu para ulama tidak menggunakannya sebagai dalil wajibnya mengusap leher/tengkuk.

Makna hadits ini sebagai berikut:

ثُمَّ مَسَحَ رَأْسَهُ بِيَدَيْهِ

“Kemudian mengusap kepalanya dengan dua tangannya”.

Kami katakan: ini artinya hanya kepala yang wajib diusap, sesuai dengan firman Allah Ta’ala:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فاغْسِلُواْ وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُواْ بِرُؤُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَينِ

“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan usaplah kepalamu dan (basuhlah) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.” (QS. Al-Maidah : 6).

Adapun tengkuk/leher seperti telah maklum tidak termasuk kepala.

Kemudian Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam menerangkan bagaimana caranya mengusap itu dengan sabdanya:

حَتَّى ذَهَبَ بِهِمَا إِلَى قَفَاهُ

menarik kedua tanganya hingga sampai tengkuk

Yaitu bahwa batas tarikan usapan adalah tengkuk, artinya tarikan usapan tidak boleh sampai menyentuh tengkuk cukup sampai kepala bagian belakang, sebagaimana awal tarikan adalah dahi, sedangkan dahi seperti kita ketahui tidak wajib diusap karena tidak termasuk kepala.

Berbeda dengan telinga, terdapat keterangan jelas tentangnya, Imam Tirmidzi rahimahullahu (no. 37) berkata,

حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ عَنْ سِنَانِ بْنِ رَبِيعَةَ عَنْ شَهْرِ بْنِ حَوْشَبٍ عَنْ أَبِي أُمَامَةَ قَالَ تَوَضَّأَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَغَسَلَ وَجْهَهُ ثَلَاثًا وَيَدَيْهِ ثَلَاثًا وَمَسَحَ بِرَأْسِهِ وَقَالَ الْأُذُنَانِ مِنْ الرَّأْسِ

Menceritakan kepada kami Qutaibah, menceritakan kepada kami Hammad bin Zaid dari Sinan bin Rabi’ah dari Syahr bin Hausyab dari Abu Ummah yang berkata: Nabi shallallahu’alaihi wasallam berwudhu sambil membasuh wajahnya tiga kali, dan tangannya tiga kali, dan mengusap kepalanya, beliau bersabda: "Kedua telinga termasuk kepala".

Hadits ini dikeluarkan juga oleh Abu Dawud (no. 134) dan Ibnu Majah (no, 444), kemudian dishohihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shohihah (no. 36).

Imam Tirmidzi rahimahullahu berkata setelah menyebutkan hadits ini,

وَالْعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَ أَكْثَرِ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَنْ بَعْدَهُمْ أَنَّ الْأُذُنَيْنِ مِنْ الرَّأْسِ وَبِهِ يَقُولُ سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ وَابْنُ الْمُبَارَكِ وَالشَّافِعِيُّ وَأَحْمَدُ وَإِسْحَقُ

"Amalan adalah berdasarkan hadits ini di sisi mayoritas ahli ilmu dari kalangan sahabat Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, dan orang-orang setelahnya bahwa kedua telinga termasuk bagian dari kepala. Pendapat inilah yang dinyatakan oleh Sufyan Ats-Tsauri, Ibnul Mubarok, Asy-Syafi’i, Ahmad, dan Ishaq".

Kalau demikian, maka dua telinga termasuk keumuman perintah Allah Ta’ala, “Usaplah kepalamu” ini berbeda dengan leher. Sehingga prakteknya mengusap kepala itu dimulai dari meletakan dua tangan didahi bagian atas kemudian ditarik ke bagian belakang kepala, lalu ditarik lagi kedepan, kemudian tanpa mengambil air baru langsung usapkan ke telinga. Begitulah menurut sunnah, walhamdulillah.

===================================


Kamis, 06 Mei 2010

Pemimpin yang tidakpunya kekuasaan tidak berhak ditaati sesuai perintah Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wasalam

Judul yang saya tuliskan di atas itu diperpendek dari judul di Blog Rikrik, yang judul aslinya adalah: Syaikh Abdus Salam ibn Barjas : "Adapun pemimpin yang tidak jelas keberadaannya atau tidak mempunyai kekuasaan sedikitpun, maka pemimpin yang seperti ini tidak termasuk kategori yang berhak ditaati sesuai perintah Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wasalam.

Kenapa saya perpendek? Karena batasan judul di blogspot yang hanya mengizinkan maksimal sekian karakter (maaf, saya tidak hitung berapa karakter).

Saya sangat menyayangkan mengapa dia mengambil rujukan dari seseorang dengan mengatakan dari Nabi, padahal TIDAK ADA HADITS YANG MENGATAKAN HAL ITU. Artinya, mohon maaf, orang yang dituliskan di sini adalah pendusta.

Mengenai masalah pemimpin yang tidak punya kekuasaan tidak berhak ditaati jelas tidak ada di dalam hadits. Mengapa?
1. Sewaktu Nabi baru diutus oleh Alloh, apakah Nabi Muhammad langsung punya kekuasaan? Anda sudah tahu jawabannya, yaitu bahwa Nabi tidak punya kekuasaan. Bahkan saat itu Nabi dan umat Islam harus Hijroh ke Madinah.
2. Apakah jika Nabi tidak punya kekuasaan, lalu Nabi Muhammad tidak berhak ditaati? Anda sudah tahu jawabannya. Bahkan kalau mengatakan bahwa Nabi Muhammad tidak berhak ditaati, jelas bahwa ini hukumnya bukanlah tergolong umat Islam.

Kembali tentang masalah di atas, bahwa jelas keharomannya mengatakan bahwa sesuatu itu bukan perintah dari Nabi, namun disebut sebagai perintah dari Nabi. Sesuai dalil

و حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدٍ الْغُبَرِيُّ حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ عَنْ أَبِي حَصِينٍ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ

Telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin Ubaid al-Ghubari] telah menceritakan kepada kami [Abu Awanah] dari [Abu Hashin] dari [Abu Shalih] dari [Abu Hurairah] dia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa berdusta atas namaku maka hendaklah dia menempati tempat duduknya dari neraka." (HR. Muslim No. 4)

Berikut ini tulisan dari para mantan LDII tentang 'ulama besar' yang mereka sebut-sebut itu.

============================

Syaikh Abdus Salam ibn Barjas

ibn Nashir Ali Abdul Karim rahimahullah.


”Adapun pemimpin yang tidak jelas keberadaannya atau tidak mempunyai kekuasaan sedikitpun, maka pemimpin yang seperti ini tidak termasuk kategori yang berhak ditaati sesuai perintah Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wasalam”

(Mu’amalatul Hukkam)


Syaikh Ibn Barjas rahimahullahu dalam kitab Mu’amalatul Hukkam fi Dhauil Kitab wa Sunnah hal 45-46 berkata :

القاعدة الخامسة : الأئمة الذين أمر النبي r بطاعتهم هم الأئمة الموجودون المعلومون، الذين لهم سلطان وقدرة

“Kaidah yang kelima: Imam yang diperintah Nabi shallallahu’alaihi wasalam untuk ditaati adalah para imam yang keberadaannya konkrit diketahui, memiliki kekuasaan dan kemampuan”.

Kemudian beliau mengutip perkataan Ibn Taimiyah dalam Minhajus Sunnah An-Nabawiyyah (1/115) :

وهو أن النبي r أمر بطاعة الأئمة الموجودين المعلومين الذين لهم سلطان يقدرون به على سياسة الناس لا بطاعة معدوم ولا مجهول ولا من ليس له سلطان ولا قدرة على شيء أصلا

“Sesungguhnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Salam telah memerintahkan agar kita mentaati pemimpin yang ada dan telah diakui kekuasaan dan kedaulatannya untuk mengatur manusia, tidak memerintah kita untuk mentaati pemimpin yang tidak jelas dan tidak diketahui keberadaannya, juga tidak mempunyai kekuasaan dan kemampuan sedikitpun”.

dan menambahkan :

وحجة هذا : أن مقاصد الإمامة التي جاء الشرع بها من إقامة العدل بين الناس وإظهار شعائر الله –تعالي – وإقامة الحدود ونحو ذلك لا يمكن أن يقوم بها معدوم لم يوجد بعد، ولا مجهول لا يعرف.

Alasannya jelas, bahwa tujuan adanya imammah secara syar’i adalah menegakan keadilan diantara manusia, menyemarakan syiar-syiar agama Allah Ta’ala, menegakan hukum had dan lain sebagainya. Hal ini tidak mungkin dilakukan oleh pemimpin ma’dum (tidak jelas keberadaannya), tidak mungkin pula bagi pemimpin majhul (tidak dikenal) dan tidak mungkin pula bagi pemimpin yang tidak diketahui.

وإنما يقوم بها الإمام الموجود الذي يعرفه المسلمون عموماً علماؤهم وعوامهم، شبابهم وشيبهم، رجالهم ونسائهم، والذي له قدرة على إنقاذ مقاصد الإمامة، فإذا أمر برد مظلمة ردت، وإذا حكم بحد أقيم، وإذا عزر نفذ تعزيزه في رعيته ونحو ذلك مما هو من مظاهر السلطان والولاية،

Tiada lain yang dapat melakukan ini semua kecuali pemimpin yang keberadaannya diketahui oleh kaum muslimin, baik dari kalangan ulama maupun kalangan awam, kalangan pemuda maupun orang tua, lelaki maupun perempuan. Yaitu pemimpin yang mempunyai kewenangan dan kemampuan untuk menggapai tujuan-tujuan dari adanya imamah. bila ia memerintahkan untuk mengembalikan hak orang yang didzalimi maka akan dijalankan perintahnya, bila memutuskan suatu hukum akan ditunaikan, bila memvonis salah satu rakyatnya akan ditegakan dan kriteria-kriteria lainnya yang menunjukan bahwa dia mempunyai kekuasaan dan kedaulatan atas negerinya…..

Beliau berkata pula :

فمن نزل نفسه منزلة ولي الأمر الذي له القدرة والسلطان على سياسة الناس، فدعا جماعة للسمع والطاعة له أو أعطته تلك الجماعة بيعة تسمع وتطيع له بموجبها، أو دعا الناس إلي أن يحتكموا إليه في رد الحقوق غلي أهلها تحت أي مسمي كان ونحو ذلك، وولي الأمر قائم ظاهر : فقد حاد الله ورسوله، وخالف مقتضي الشريعة، وخرج من الجماعة.

Barangsiapa menganggap dirinya sebagai penguasa yang mempunyai kekuasaan dan kemampuan untuk mengatur manusia, lalu mengajak manusia untuk mendengar dan taat kepadanya atau ada sekelompok jamaah yang membai’atnya untuk wajib didengar dan ditaati, serta memprovokasi manusia agar mau bergabung bersamanya untuk mengembalikan hak-hak kepada yang berhak dengan menggunakan berbagai nama dan slogan sedangkan penguasa yang sah masih berkuasa: maka yang demikian adalah penentangan kepada Allah dan rasul-Nya juga menyelisihi aturan syariat dan telah keluar dari jamaah.

Lalu beliau berkata :

فلا تجب طاعته، بل تحرم، ولا يجوز الترافع إليه ولا ينفذ له حكم ومن آزره أو ناصره بمال أو كلمة أو أقل من ذلك، فقد أعان على هدم الإسلام وتقتيل أهله وسعى في الأرض فساداً، والله لا يحب المفسدين.

Maka tidaklah wajib untuk taat kepada orang yang seperti ini bahkan diharamkan, tidak boleh mengakuinya dan menjalankan hukumnya. Barangsiapa membantu, menolong dan mendukungnya dengan harta ataupun perkataan bahkan yang lebih kecil dari itu, maka dia telah bekerjasama untuk menghancurkan agama Islam dan membantai umatnya serta membuat onar dipermukaan bumi ini. Allah tidak suka terhadap orang yang membuat kerusakan”.

Siapakah Syaikh?

Beliau adalah Ahli hadits dari Saudi, telah meninggal karena kecelakaan tahun 1425 H. Guru-guru Syaikh Abdus Salam diantaranya adalah Syaikh Ibn Bazz, Syaikh Shaleh ibn Utsaimin, Syaikh ibn Jibrin, Syaikh Muhadits Abdullah ibn Duwaisi, Syaikh Shalih ibn Abdurrahman Al-Athram, Syaikh Abdurahman ibn Ghudayan, Syaikh Shalih ibn Ibrahim Al-Balihi, Syaikh Abdulkarim Al-Khudairi dan lainnya.

============================


Ulil Amri Atau Siapapun Tidak Berhak Menentukan Syari’at

Lagi-lagi Rikrik salah menerapkan persepsi agama. Dia belum bisa membedakan Bid'ah dan ijtihad. Berikut ini postingan dia:

===============================

Ulil amri tidak ada padanya hak untuk menentukan halal, haram, dan syari’at lain dari Din ini, baik itu dengan “hak ijtihad mereka” atau tidak. Sesungguhnya penghalalan dan pengharaman, penentuan syari’at, bentuk-bentuk ibadah dan penjelasan jumlah, cara dan waktu-waktunya, serta meletakkan kaidah-kaidah umum dalam muamalah adalah hanya hak Allah dan Rasul-Nya dan tidak ada hak bagi ulil amri di dalamnya. Sedangkan kita dan mereka dalam hal tersebut adalah sama. Maka kita tidak boleh merujuk kepada mereka jika terjadi perselisihan. Tetapi kita harus mengembalikan semua itu kepada Allah dan Rasul-Nya. [1]

Inilah makna tersembunyi dalam surat an-Nissa ayat 59, dimana kata kerja (taatilah) tidak diulangi pada ulil amri.[2]

يا أيها الذين آمنوا أطيعوا الله وأطيعوا الرسول وأولي الأمر منكم

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu”.

Imam ibn Abi al-Izz Al-Hanafi dalam Syarah Aqidah Ath-Thahawiyah hal. 252 berkata,

فتأمل قوله تعالى: { أطيعوا الله وأطيعوا الرسول وأولي الأمر منكم } - كيف قال:"وأطيعوا الرسول"، ولم يقل: وأطيعوا أولي الأمر منكم؟ لأن أولي الأمر لا يفردون بالطاعة، بل يطاعون فيما هو طاعة لله ورسوله. وأعاد الفعل مع الرسول [ للدلالة على أن من أطاع الرسول ] فقد أطاع الله، فإن الرسول صلى الله عليه وسلم لا يأمر بغير طاعة الله، بل هو معصوم في ذلك، وأما ولي الأمر فقد يأمر بغير طاعة الله، فلا يطاع إلا فيما هو طاعة لله ورسوله.

“Cermatilah bagaimana Dia berfirman : “Taatilah Allah dan taatilah Rasul” tapi tidak berfirman : “Dan taatilah ulil amri diantara kamu”, karena Ulil amri tidak ditaati sepihak, tetapi mereka ditaati dalam perkara yang terdapat didalamnya ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, kata kerja (taatilah) dalam ayat tersebut diulang kembali pada ketaatan kepada Rasul karena siapa yang taat kepada Rasul berarti dia telah mentaati Allah, sebab Rasul tidak memerintahkan selain ketaatan kepada Allah, bahkan dia terlindungi (ma’shum) dalam demikian itu, tapi ulil amri bisa jadi dia menyuruh kepada ketaatan tidak kepada Allah, maka dia tidak ditaati kecuali pada perkara ketaatan kepada Allah dan Rasulnya”.

Adapun kepada mereka yang bersikeras mengikuti kesalahan para imamnya kita patut heran :

أم لهم شركاء شرعوا لهم من الدين ما لم يأذن به الله

“Apakah mereka mempunyai para sekutu yang mensyari’atkan untuk mereka dari ad-din yang tidak dizinkan Allah?” [Asy-Syuraa : 21].

Oleh sebab itu, tatkala Abu Bakar radhiyallahu’anhu diangkat menjadi khalifah, beliau berkata:

إنما أنا متبع ولست بمبتدع

“… Sesungguhnya aku ini muttabi’ (orang yang mengikuti) bukan mubtadi’ (membuat bid’ah)”.[3]

Qadhi Iyadh rahimahullahu dalam Kitab Tartib Madarik Wa Taqrib Masalik (1/166), berkata :

فقال فتيان: حدثني مالك أن الإمام لا يكون إماماً أبداً إلا على شرط أبي بكر الصديق رضي الله تعالى عنه،

Berkata Fatayan : menceritakan kepada saya Malik : “Sesungguhnya tidak seorang pun yang diangkat menjadi imam, kecuali dia harus memenuhi syarat Abu Bakar Shiddiq radhiyallahu Ta’ala’anhu, (lalu Malik menyebutkan perkataan Abu Bakar, diantaranya perkataan diatas)”.[4]

Demikianlah seharusnya seorang imam, tidak ada hak baginya menentukan dalam ad-din ini sesuatu yang baru, apa yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wasalam telah mencukupi dan sempurna. Berkata Imam Ad-Darimi dalam Sunan (no. 223):

أخبرنا موسى بن خالد حدثنا عيسى بن يونس عن الأعمش عن عمارة ومالك بن الحارث عن عبد الرحمن بن يزيد عن عبد الله قال : القصد فى السنة خير من الاجتهاد فى البدعة

Mengkhabarkan kepada kami Musa ibn Khalid, menceritakan kepada kami ‘Isa ibn Yunus dari Al-A’masy dari ‘Umaroh dan Malik ibn Al-Harits dari Abdurrahman ibn Yazid dari Abdullah (ibn Mas’ud) berkata, “Beramal sekedarnya dengan mengikuti sunnah, adalah lebih baik daripada berijtihad dalam bid’ah”.[5]

Adapun dalam urusan keduniawian, -yang tidak dikehendaki pahala dengannya- maka imam lebih tahu kemaslahatan ru’yahnya. Berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wasalam,

أنتم أعلم بأمر دنياكم

“Kalian lebih tahu urusan dunia kalian”.[6]

Adapun dalam urusan ibadah -yang dikehendaki pahala dengannya- adalah hak Allah dan rasul-Nya, kita semuanya tanpa kecuali hanya ‘itiba. Oleh sebab itu tatkala Syaikh Muhammad Abdurrahman al-Mubarakfuri dalam Tuhfatul Ahwadzi (4/393) berkata :

وفيه أنّ الإمام إذا أمر بمندوب أو مباح وجب.

“Dan bahwa sesungguhnya imam ketika perintah dengan mandub [7] atau mubah [8], maka wajib (taat kepadanya)”.

Beliau mendahului perkataanya itu dengan perkataan,

تجب بل يحرم إذ لا طاعة لمخلوق في معصية الخالق

“Haram dan wajib tidak ta’at kepada mahluk dalam ma’shiat kepada Khaliq”.

Yang dikehendaki adalah wajibnya taat dalam perintah mandub dan mubah itu sebab tidak ada dalam keduanya (mandub dan mubah) dosa (ma’shiat). Adapun jika imam perintah ma’shiat kepada Allah dan rasul-Nya, maka tidak boleh taat kepadanya. Sedangkan bid’ah termasuk dalam ma’shiat, bahkan dolalah (sesat), dan tiap dolalah itu di neraka,[9] yaitu pelakunya.

Kami ingatkan kembali makna bid’ah ini dari jilid pertama, dari perkataan Asy-Syathibi dalam Al-I’tishom: “Bid’ah adalah satu cara dalam agama ini yang dibuat-buat, bentuknya menyerupai ajaran syari’at yang ada, tujuan dilaksanakannya adalah sebagaimana tujuan syari’at”.[10]

Perkataan beliau “…tujuan dilaksanakannya (bid’ah) adalah sebagaimana tujuan syari’at”. Maknanya bahwa jika itu dilihat sebagai kebiasaan biasa tidak akan mengandung kebid’ahan apa-apa, namun bila dilakukan dalam wujud ibadah, atau diletakkan dalam kedudukan sebagai ibadah yang dikehendaki pahala dengannya, ia bisa dimasuki oleh bid’ah.

Mudah-mudahan penjelasan ini mencukupi, untuk membantah orang-orang yang mencari-cari pembenaran dari syubhat-syubhat, hanya untuk mendukung bid’ah yang dilakukan imam-imamnya. Kita berdoa kepada Allah Ta’ala agar menetapkan kita dalam kebenaran dan keikhlasan.


===============================

Kebetulan, ada rekan kita yang sudah menuliskan panjang lebar mengenai perbedaan ihtihad dan bid'ah di link berikut: http://teguh354.blogspot.com/2009/12/bidah-dan-ijtihad.html. Saya tuliskan kembali untuk menegaskan.


Bid'ah dan Ijtihad

Dewasa ini banyak kelompok-kelompok muslim yang sering mengangkat isu tentang bid'ah. Namun efek dari penjelasan yang kurang detail dari sang asatidz, atau mungkin karena sang thulab yang memang kurang "nyambung" dengan penjelasan asatidz-nya, menyebabkan terminologi bid'ah menjadi sangat rancu bahkan cenderung absurd di masyarakat belakangan ini. Masih banyak orang (awam) yang belum bisa membedakan antara bid'ah, maksiat, syirik, makruh, mubah, bahkan ijtihad.

Kali ini akan saya tulis sedikit mengenai bid'ah dan ijtihad, karena perkara ini saya nilai hampir serupa/mirip, meskipun sebenarnya bedanya jauh sebagaimana langit dan sumur sat (sumur yang kering).

Bid'ah

Menurut Imam Asy-Syatibi dalam I'tishom, bid'ah bukan saja merupakan penambahan terhadap syariat/kententuan dalam agama, khususnya yang berkaitan dengan ibadah mahdhoh (ibadah murni), tetapi juga pengurangan dan modifikasi terhadap perkara ibadah mahdhoh tersebut. Bahkan menurutnya, orang yang mengerjakan bid'ah, secara tidak sadar, orang itu telah jatuh dalam kekufuran. Sebagaimana dalil berikut:

لاَ يَقْبَلُ اللَّهُ لِصَاحِبِ بِدْعَةٍ صَوْمًا وَلاَ صَلاَةً وَلاَ صَدَقَةً وَلاَ حَجًّا وَلاَ عُمْرَةً وَ لاَ جِهَادًا وَلاَ صَرْفًا وَلاَ عَدْلاً يَخْرُجُ مِنَ الإِسْلاَمِ كَمَا تَخْرُجُ الشَّعَرَةُ مِنَ الْعَجِين
Allah tidak akan menerima puasanya orang yang berbuat bid’ah: shalatnya, shodaqahnya, hajinya, umrahnya, jihadnya, amalan fardhunya, dan amalan sunnahnya, ia keluar dari islam sebagaimana keluarnya helai rambut dari tepung adonan (bahasa Jawa: jeladren).
- rowahu Ibnu Maajah

أَبَى اللَّهُ أَنْ يَقْبَلَ عَمَلَ صَاحِبِ بِدْعَةٍ حَتَّى يَدَعَ بِدْعَتَهُ
Allah menolak untuk menerima amal perbuatan bid’ah hingga dia meninggalkan bid’ahnya.
- rowahu Ibnu Maajah

Imam Muhammad Abdurrohman Al-Mubarokfuri, yang menyusun kitab syarah Sunan at-Tirmidzi, menerangkan lebih gamblang lagi bahwa bid'ah adalah suatu jalan di dalam agama yang dibuat-buat tanpa dalil, yang menyerupai syariat agama, dikehendaki atasnya untuk "ngepol-ngepol-kan" dalam beribadah kepada Alloh.

Maksudnya adalah; semua perbuatan yang menyerupai ibadah namun tidak ada dalilnya dari Al Quran, Al Hadits, maupun fatwa Khulafaur-Rosyidiin. Biasanya orang yang mengerjakannya bertujuan supaya lebih khusu' atau lebih mantap. Pengertian bid'ah ini terbatas pada bentuk ibadah mahdhoh (ibadah murni) semisal sholat, wudhu, adzan, puasa, haji, dan lain-lain.

contoh:
Pengucapan "nawaitu..." sebelum berpuasa, wudhu, "ush-sholli..." sebelum sholat, atau menabuh bedug terlebih dahulu sebelum dimulainya adzan, dan lain-lain.

Atau bisa jadi itu adalah perkara yang menyerupai syariat Islam, yang dimaksudkan agar lebih khusu' dan pol ibadahnya, semisal perayaan 10 harian, atau 100 harian yang dikhususkan bagi orang yang telah meninggal dunia, meski di dalam acara tersebut terkandung ucapan-ucapan yang baik semisal ucapan tahlil dan pembacaan surat Yaasin yang ditujukan untuk si mayit. Dan lain-lain.

ciri-ciri umum:

1. perkara baru ini melekat pada bentuk-bentuk ibadah mahdhoh, dan bila tanpanya, ibadah mahdhoh tersebut dianggap tidak afdhol bahkan tidak sah. bentuknya bisa perkataan/lisan maupun perbuatan.

2. meyakini bahwa perkara tersebut adalah suatu ibadah wajib yang tidak mungkin dimansukh, karena dianggap baik atau pol.

3. karena merupakan syarat, biasanya perkara baru ini dilakukan sebelum atau ketika seseorang melakukan ibadah mahdhoh tertentu, bukan setelah ibadah mahdhoh dilakukan.

Adapun bila dikerjakan setelah ibadah mahdhoh, itu tidak selalu berkonotasi bid'ah. Sebagai contoh, syaikh Abdul Aziz bin Baaz (Ketua Komisi Riset dan Fatwa Islam, Saudi Arabia) mengatakan bahwa berjabat tangan setelah sholat itu hanya makruh. Tetapi saat ini rancu, mengingat banyak orang yang mengatakan bahwa hal tersebut merupakan bid'ah yang terlarang. Hal ini tentunya serupa dengan orang yang dengan mudahnya berfatwa bahwa memberikan siraman rohani (taushiyah/nasehat basyiron wa nadziron) kepada para hadirin di mesjid/musholla setelah sholat fardhu dihukumi sebagai bid'ah.

Ijtihad

Ijtihad adalah suatu usaha untuk mencari suatu hukum dari suatu permasalahan yang sifatnya kontemporer (tidak terjadi pada masa sebelumnya) dengan menggunakan alat-alat ijtihad dalam beristinbath (proses menggali dalil-dalil yang tegas berdasar kaidah-kaidah fiqih/ushul fiqih dalam Qur'an, Hadits, dan ijma' Khulafaur-Rosyidiin).

Misalnya, pada zaman Rosuululloh shollallohu 'alaihi wasallam umat Islam yang berhaji ke baitulloh tidak seperti saat ini yang jumlahnya berjuta-juta. Akibatnya seringkali sewaktu proses jumroh, banyak ummat muslim yang meninggal/teraniaya karena terinjak-injak orang yang ingin melempar jumroh. Maka saat ini jamarat dibentuk sedemikian rupa dengan posisi yang lebih lebar dan aman daripada sebelum-sebelumnya. Ini demi kepentingan dan kemashlahatan ummat dalam melakukan ibadah kepada Alloh.

Hal semacam ini (yang telah disepakati bersama oleh para ulama dan ahli ilmu) tidak termasuk bid'ah. Ini adalah suatu bentuk respon zaman yang memang diperlukan untuk mengatur dan menyelamatkan nyawa ummat yang seringkali melayang dalam prosesi melempar jumroh.














Siapakah yang berhak berijtihad?

Yang berhak melakukan ijtihad adalah ulil amri dan para ulama/ahli ilmu yang sangat mengerti alat-alat ijtihad semisal fasih berbahasa Arab, faqih dalam agama, banyak pengetahuan agamanya (tidak sempit), dapat dipercaya, mengutamakan mashlahat, dan bukan termasuk orang yang meninggalkan sholat 5 waktu.

Jenis-jenis ijtihad:

1. ijma', hasil kesepakatan para ulama dan ahli agama secara bermusyawarah untuk diikuti ummat.

2. qiyas, penyamaan suatu perkara yang belum pernah terjadi dengan perkara yang sebelumnya pernah terjadi, karena dianggap mempunyai kesamaan sifat/karakteristik. qiyas diambil dalam keadaan darurat. qiyas banyak dilakukan oleh para ahli ilmu (semisal imam 4) sebelum era pembukuan kitab-kitab hadits oleh para ahli hadits.

3. ihtisan, suatu fatwa yang dikeluarkan oleh seorang ahli fiqih, karena ia merasa bahwa hal tersebut adalah benar.

4. mushalat murshalah, tindakan memutuskan masalah yang tidak ada naskhnya dengan pertimbangan kepentingan hidup manusia berdasarkan prinsip menarik manfaat dan menghindari kemudharatan.

5. sududz dzariah, tindakan memutuskan suatu yang mubah menjadi makruh atau haram demi kepentingan umat (muttawari'). semisal disamakannya hukum gambar mentol (timbul) dengan gambar yang tidak mentol menjadi haram demi alasan muttawari', karena banyak terjadi ikhtilaf di kalangan para ulama.

6. istishab, tindakan menetapkan berlakunya suatu ketetapan sampai ada alasan yang bisa mengubahnya. hal ini banyak dilakukan oleh para ahli ilmu (semisal imam 4) sebelum era pembukuan kitab-kitab hadits oleh para ahli hadits.

7. urf, tindakan menentukan masih bolehnya suatu adat-istiadat dan kebiasaan masyarakat setempat selama kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan aturan-aturan prinsipal dalam Qur'an dan Hadits. Misalnya: tradisi mudik pulang kampung menjelang Idul Fitri tiba, dan lain-lain.

Adapun dari masing-masing tujuh jenis ijtihad diatas, semuanya tidak boleh bertentangan dengan hukum agama atau kaidah-kaidah fiqih/ushul fiqih yang sudah jelas, tegas, dan terang (sharih).

Ijtihad yang ada pada masa kini hakikatnya tidak akan lari dari dalil-dalil sebagai berikut:

تِلْكَ أُمَّةٌ قَدْ خَلَتْ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَلَكُم مَّا كَسَبْتُمْ وَلاَ تُسْأَلُونَ عَمَّا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Itulah umat terdahulu, bagi mereka adalah apa yang mereka kerjakan (perjuangkan), dan bagimu adalah apa yang kamu kerjakan (perjuangkan). Dan kamu tidak dimintai pertanggungjawaban tentang apa yang mereka kerjakan.
- Surat Al Baqoroh 134

إِنَّ اللّهَ لاَ يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُواْ مَا بِأَنْفُسِهِمْ
...sesungguhnya Alloh tidak akan merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mau merubah (memperjuangkan) keadaan diri mereka sendiri...
- Surat Ar Ro'du 11

Muncul pertanyaan, "apakah ijtihad itu harus selalu sama di masing-masing negara yang sikon-nya belum tentu sama?". Kiranya ada baiknya pula kita perhatikan tanggapan dari salah satu ulama khalaf asal jazirah Arab, syaikh Ibnu Utsaimin, mengenai ijtihad sebagai berikut:

Pertanyaan:
Kapan diakuinya perbedaan pendapat dalam masalah agama? Apakah perbedaan pendapat terjadi pada setiap masalah atau hanya pada masalah-masalah tertentu? Kami mohon penjelasan.

Jawaban:
Pertama-tama perlu diketahui, bahwa perbedaan pendapat di kalangan ulama umat Islam ini adalah yang terlahir dari ijtihad, karena itu, tidak membahayakan bagi yang tidak mencapai kebenaran. Nabi صلی الله عليه وسلم telah bersabda,

إِذَا حَكَمَ اْلحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ
"Jika seorang hakim memutuskan lalu berijtihad, kemudian ia benar, maka ia mendapat dua pahala. Dan jika ia memutuskan lalu berijtihad kemudian salah, maka ia mendapat satu pahala."[1]

Maka, bagi yang telah jelas baginya yang benar, maka ia wajib mengikutinya. Perbedaan pendapat yang terjadi di antara para ulama umat Islam tidak boleh menyebabkan perbedaan hati, karena perbedaan hati bisa menimbulkan kerusakan besar, sebagaimana firman Allah,

وَلاَ تَنَازَعُواْ فَتَفْشَلُواْ وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ وَاصْبِرُواْ إِنَّ اللّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ
"Dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar." (Al-Anfal: 46).

Perbedaan pendapat yang diakui oleh para ulama, yang kadang dinukil (dikutip) dan diungkapkan, adalah perbedaan pendapat yang kredibel dalam pandangan. Adapun perbedaan pendapat di kalangan orang-orang awam yang tidak mengerti dan tidak memahami, tidak diakui. Karena itu, hendaknya orang awam merujuk kepada ahlul ilmi, sebagaimana ditunjukkan oleh firman Allah سبحانه و تعالى,

فَاسْأَلُواْ أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
"Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui." (An-Nahl: 43).

Kemudian pertanyaan penanya, apakah perbedaan ini terjadi dalam setiap masalah?

Jawabnya:
Tidak demikian. Perbedaan ini hanya pada sebagian masalah. Sebagian masalah disepakati, tidak ada perbedaan, alhamdulillah, tapi sebagian lainnya ada perbedaan pendapat karena hasil ijtihad, atau sebagian orang lebih tahu dari yang lainnya dalam menganalisa nash-nash Al-Kitab dan As-Sunnah. Di sinilah terjadinya perbedaan pendapat. Adapun dalam masalah-masalah pokok, sedikit sekali terjadi perbedaan pendapat.

[1] HR. Al-Bukhari dalam Al-I'tisham (7325).
Rujukan: Dari fatwa Syaikh Ibnu Utsaimin yang beliau tanda tangani. Disalin dari buku Fatwa-Fatwa Terkini Jilid 2, penerbit Darul Haq.

Demikianlah sekilas tulisan saya mengenai bid'ah dan ijtihad. Semoga kita semua tidak rancu lagi dalam membedakan antara bid'ah dan ijtihad. Bilamana masih bimbang atau belum bisa membedakan mana bid'ah mana ijtihad, maka segeralah mendekat kepada para ulama dan ahli ilmu, agar kita tidak terkecoh dalam mengarungi roda zaman yang penuh dengan hal-hal yang syubhat. Mudah-mudahan Alloh senantiasa memberikan manfaat dan barokahNya. Amiin.

Shalat sunnah dua rakaat selepas adzan pertama dalam shalat jum’at

Rikri menuliskan tentang tidak bolehnya sholat sunah dua rokaat setelah Adzan pertama sebelum sholat Jum'at, seperti tertulis di bawah ini:

========================

Kemudian tentang shalat sunnah dua rakaat selepas adzan pertama dalam shalat jum’at, dimana orang-orang biasanya serempak berdiri untuk shalat dua rakaat yang bukan shalat tahiyatul mesjid, yang ini pun bid’ah. Bagaimana shalat ini disyari’atkan padahal dizaman Rasulullah shallallahu’alaihi wasalam adzan hanya satu kali, yaitu ketika imam hendak berkhutbah?. Adzan dua kali hanya terjadi dizaman Utsman ibn ‘Affan radhiyallahu’anhu. [1]

Mereka berdalil dengan hadits,

بين كل أذانين صلاة

“Diantara dua adzan ada shalat”, [2]

Hadits ini tidak dapat digunakan secara mutlak seperti itu, lagi pula maksud dua adzan dalam hadits tersebut adalah antara adzan dan iqomat.

Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam syarahnya terhadap Bukhari (Fathul Baari) berkata, “Telah biasa dilakukan oleh pensyarah hadits bahwa kalimat tersebut termasuk ke dalam katagori taghlib (mengungkapkan dua makna yang berbeda dengan satu lafazh) seperti ungkapan orang Arab al-Qamarain (dua buah bulan) yang maknanya bulan dan matahari. Atau bisa pula sengaja mengungkapkan iqamat dengan adzan karena sesungguhnya iqamat pada dasarnya adalah memberi tahu bahwa shalat akan dilaksanakan, sebagaimana adzan maknanya adalah memberi tahu bahwa waktu shalat telah tiba”.

Jadi, bukan antara adzan pertama dan adzan kedua dalam shalat jum’at yang sekarang ini biasa diamalkan, bahkan tidak ada dua adzan dizaman Nabi shallallahu’alaihi wasalam, yang ada adalah adzan ketika khatib naik mimbar dan iqomah.

Jadi, membiasakan diri shalat dua rakaat diantara adzan pertama dan kedua adalah bid’ah. Yang lebih mengherankan justru mereka menganggap orang yang enggan shalat diwaktu itu adalah orang yang menyelisihi sunnah atau malas, semuanya serba terbalik.

-----------------------------

1. Lihat selengkapnya Imam Al-Albani dalam Al-Ajwibah an-Naafi’ah’an Asaalah Lajnah Masjidil Jaami’ah hal 23

2. Diriwayatkan oleh Ahmad (5/54) no. 20563, Bukhari (1/225) no. 598, Muslim (1/573) no. 838, Tirmidzi (1/351) no. 185, Abu Dawud (1/26) no. 1283, Nasai (2/28) no. 681, Ibn Majah (1/368) no. 1162, Ibn Abi Syaibah (2/136) no. 7383 dan Ad-Daruquthni (1/266) dari Abdullah ibn Buraidah dari Abdullah ibn Mughafal.


========================

Bantahan dia sama sekali tidak sesuai dengan landasan agama, karena Nabi sendiri memperbolehkan sholat sunah keccuali di tiga waktu, yaitu saat matahari terbit sampai tingginya sekitar dua tombak (awal sholat dhuha), saat matahari tepat di atas kepala (sebelum sholat Juhur), dan saat matahari akan terbenam sampai benar-benar terbenam (awal sholat maghrib).

Pertanyaannya, apakah sholat sunah setelah adzan pertama dalam sholat Jum'at masuk dalam ketiga waktu larangan itu? Saya rasa Anda sudah tahu jawabannya.

Pertanyaan 2: Mengusap Leher/Tengkuk Ketika Wudhu

Para mantan LDII menuliskan bahwa mengusap tengkuk ketika wudhu haditsnya adalah dhoif. Lucunya, mengusap tengkuk ketika berwudhu ini juga ada di hadits Shohih Bukhori No. 179. Jelas bahwa pada Shohih Bukhori, hadits-hadits di dalamnya shohih semua.

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ عَمْرِو بْنِ يَحْيَى الْمَازِنِيِّ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِعَبْدِ اللَّهِ بْنِ زَيْدٍ وَهُوَ جَدُّ عَمْرِو بْنِ يَحْيَى أَتَسْتَطِيعُ أَنْ تُرِيَنِي كَيْفَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَوَضَّأُ فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ زَيْدٍ نَعَمْ فَدَعَا بِمَاءٍ فَأَفْرَغَ عَلَى يَدَيْهِ فَغَسَلَ مَرَّتَيْنِ ثُمَّ مَضْمَضَ وَاسْتَنْثَرَ ثَلَاثًا ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلَاثًا ثُمَّ غَسَلَ يَدَيْهِ مَرَّتَيْنِ مَرَّتَيْنِ إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ ثُمَّ مَسَحَ رَأْسَهُ بِيَدَيْهِ فَأَقْبَلَ بِهِمَا وَأَدْبَرَ بَدَأَ بِمُقَدَّمِ رَأْسِهِ حَتَّى ذَهَبَ بِهِمَا إِلَى قَفَاهُ ثُمَّ رَدَّهُمَا إِلَى الْمَكَانِ الَّذِي بَدَأَ مِنْهُ ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيْهِ

Telah menceritakan kepada kami 'Abdulloh bin Yusuf, dia berkata, telah mengabarkan kepada kami Malik dari 'Amr bin Yahya Al Mazini dari Bapaknya bahwa ada seorang laki-laki berkata kepada 'Abdullah bin Zaid [dia adalah kakek dari 'Amr bin Yahya]: "Bisakah engkau perlihatkan kepadaku bagaimana Rasulullah saw berwudhu?" 'Abdulloh bin Zaid lalu menjawab, "Tentu." Abdulloh lalu minta diambilkan air wudlu, lalu ia menuangkan air pada kedua tangannya dan membasuhnya dua kali, lalu berkumur dan mengeluarkan air dari dalam hidung sebanyak kali, kemudian membasuh mukanya tiga kali, kemudian membasuh kedua tangan dua kali dua kali sampai ke siku, kemudian mengusap kepalanya dengan tangan, dimulai dari bagian depan dan menariknya hingga sampai pada bagian tengkuk, lalu menariknya kembali ke tempat semula. Setelah itu membasuh kedua kakinya."

Berikut postingan lengkapnya:

============================================

Pertanyaan : Anda telah mengatakan bahwa mengusap leher/tengkuk ketika wudhu tidak ada dalilnya, tapi kami menemukan hadits dalam Sunan Abu Dawud dan lainnya: “Aku melihat Rasulullah mengusap kepalanya satu kali hingga ke permukaan tengkuknya” dalam riwayat lain: “Nabi mengusap kepalanya dari depan ke belakang hingga beliau mengangkat tangannya dari bawah telinganya (من تحت أذنيه)

Benar, tidak ada dalil yang shahih, sedangkan hadits yang anda sebutkan dhaif, telah diingkari oleh banyak ahli hadits dari dulu sampai sekarang. Diantaranya Imam Ibn Hajar, An-Nawawi, Ibn Taimiyah dan Al-Albani dalam Silsilah Adh-Dhaifah no. 69. Al-Albani rahimahullahu telah mencatat tiga cacat dalam riwayat ini.

Ibn Qayyim rahimahullahu berkata, “Tidak ada satupun riwayat yang shahih dari Nabi shallallahu’alaihi wasalam tentang mengusap leher ini” (Zadul Ma’ad 1/195).

============================================


Silat Asad menjerumuskan diri ke dalam syirik

Rikrik menjelaskan bahwa Silat Asad menjerumuskan diri ke dalam syirik. Ini lucu, karena dalil-dalil yang disebutkan di sana sama sekali tidak berhubungan dengan poin-poin yang dibahas. Sepertinya Rikrik harus lebih banyak belajar :).

(1). Dengan berlatih Asad dipercaya bisa memunculkan khawariqul ‘adah (kemampuan luar biasa) padahal khawariqul ‘adah (kemampuan luar biasa) yang berasal dari Alloh tidak bisa dipelajari apalagi dibakukan menjadi semacam ‘ilmu kedigdayaan’ yang dikeramatkan

'dipercaya' di sini sepertinya dia terlalu mengada-ngada. Tidak pernah dijanjikan bahwa orang yang berlatih Asad bisa memunculkan kemampuan luar biasa. Yang sering ada adalah kisah-kisah bagaimana dengan menguasai silat Asad, seseorang dapat menghindar dari bahaya. Jadi, yang diberitakan adalah cerita, bahkan kadang kala si pencerita ini mengalami sendiri. Banyak juga yang belum mulai melakukan silatnya, namun dengan doa-doa yang dibaca, bahaya yang mungkin akan mengenainya tidak jadi mengenainya. Inilah keistimewaan do'a sesuai dalil:

لَيْسَ شَيْءٌ أَكْرَمَ عَلَى اللَّهِ تَعَالَى مِنْ الدُّعَاءِ

Tidak ada sesuatu yang lebih mulia di sisi Alloh Yang Maha Tinggi daripada do'a. (HR Tirmidzi)

Asad sama seperti zaman dahulu sahabat diperintah oleh Nabi untuk berkuda dan memanah. Tujuannya untuk berjaga-jaga, membela diri, bukan untuk menang-menangan, karena itu tidak diridhoi oleh Alloh.

(2) Memasukan jin ke dalam tubuh pesilatnya lewat gerakan-gerakan silatnya seakan-akan latihan pernapasan atau lainnya

Ini yang benar-benar lucu. Dalil yang dimasukkan adalah yang di bawah ini:

Imam Abu Dawud (4/230) no. 4719:

حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَعِيلَ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ عَنْ ثَابِتٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَجْرِي مِنْ ابْنِ آدَمَ مَجْرَى الدَّمِ

Menceritakan kepada kami Musa bin Ismail, menceritakan kepada kami Hammad bin Tsabit dari Anas berkata, bersabda Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam: "Sesungguhnya Syaithan berjalan dalam tubuh manusia di tempat peredaran darah".

Si pengutip ini kelihatannya memang tidak bisa menghubungkan antara kajian yang ingin dikaji dengan hadits yang dimunculkan. Memang syetan masuk ke dalam tubh manusia, itu jelas dari dalil di atas. Tapi apa hubungannya atau buktinya bahwa silat Asad memasukkan jin ke dalam tubuh manusia? Ini sama sekali ngawur.

Saya sendiri pernah mengajar Asad selama beberapa lama. Dan saya tidak pernah memasukkan jin ke dalam tubuh murid-murid saya. Lalu, bagaimana jin itu bisa masuk, jika bukan pengajarnya yang memasukkan? Kalaupun ada jin yang masuk ke dalam tubuhnya, mungkin karena penyebab lainnya. Mungkin kurang berdoa? Bisa jadi.

Bahkan, Asad ini ada justru untuk menampung orang-orang yang dulunya belajar bela diri yang mengandung unsur syirik.

(3). Kenapa latihan dan lawannya harus emosi?

Ini lagi yang aneh. Rikrik mengatakan bahwa latihan Asad harus emosi, marah-marah, dsb. Padahal, untuk bisa menguasai asad justru diperlukan hati yang tenang. Saya tidak akan membahas lebih jauh. Yang jelas, ini aneh. Rikrik sendiri sepertinya tidak pernah berlatih Asad, bahkan sepertinya tidak tahu seperti apa Asad itu. Mungkin Rikrik tidak pernah melihat pada pendekar Asad, bahkan yang masih kecil-kecil. Mereka jauh dari orang yang suka marah-marah.

(4). Bekerjasama dengan jin secara terang-terangan atau sembunyi-sembunyi bisa dilihat dari dampak setelahnya

Lihat nomor 2. Tidak ada aksi memasukkan jin pada silat Asad.

Memegang mushaf Al-Qur’an padahal tidak memiliki wudhu

Blog sebelah menjelaskan bahwa Qur'an tidak boleh dipegang oleh orang yang tidak berwudhu. Isi lengkapnya adalah sebagai berikut:

Hal ini berdasarkan hadits, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wasalam bersabda,

لا يمس القرآن إلا طاهر

“Tidak boleh seseorang memegang Al-Qur’an, kecuali dalam keadaan suci”.

Hadits ini shahih dengan syawahidnya, dikeluarkan oleh Malik dalam Al-Muwatho (1/199) no. 419, Baihaqi (1/309), Al-Faqihi dalam Akbar Makkah (no. 2855), Ad-Daruquthni (1/122), Al-Hakim (1/397) dan lainnya. Lihat dalam Irwa Al-Ghalil, Al-Albani (1/158), beliau menshahihkannya juga dalam Shahih Al-Jami (no. 7780), Syarah Al-Mumti, Ibn Utsaimin (1/261), Talkish Al-Habir, Ibn Hajar (1/131).


Inilah jika ilmu didapat hanya dengan mengambil cuplikan-cuplikan, tidak belajar dari guru, tidak tahu sebab-musabab. Tirmidzi pernah meriwayatkan hadits sebagai berikut:

حَدَّثَنَا أَبُو سَعِيدٍ عَبْدُ اللَّهِ بْنِ سَعِيدٍ الْأَشَجُّ حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ غِيَاثٍ وَعُقْبَةُ بْنُ خَالِدٍ قَالَا حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ وَابْنُ أَبِي لَيْلَى عَنْ عَمْرِو بْنِ مُرَّةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَلِمَةَ عَنْ عَلِيٍّ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقْرِئُنَا الْقُرْآنَ عَلَى كُلِّ حَالٍ مَا لَمْ يَكُنْ جُنُبًا قَالَ أَبُو عِيسَى حَدِيثُ عَلِيٍّ هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَبِهِ قَالَ غَيْرُ وَاحِدٍ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالتَّابِعِينَ قَالُوا يَقْرَأُ الرَّجُلُ الْقُرْآنَ عَلَى غَيْرِ وُضُوءٍ وَلَا يَقْرَأُ فِي الْمُصْحَفِ إِلَّا وَهُوَ طَاهِرٌ وَبِهِ يَقُولُ سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ وَالشَّافِعِيُّ وَأَحْمَدُ وَإِسْحَقُ

Telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Abdulloh bin Sa'id Al-Asyaj, dia berkata; telah menceritakan kepada kami Hafsh bin Ghiyats dan Uqbah bin Khalid, mereka berkata: telah menceritakan kepada kami Al-A'masy dan Ibnu Abu Laila dari 'Amru bin Murroh dari Abdulloh bin Salamah dari Ali, dia berkata; "Rosululloh saw membacakan Al-Qur'an dalam setiap kesempatan, selama beliau tidak junub." Abu Isa berkata; "Hadits Ali ini adalah hadits yang hasan shahih. Pendapat ini banyak diambil oleh ahli ilmu dari kalangan sahabat Nabi saw dan tabi'in. Mereka berkata: "Seorang laki-laki boleh membaca Al Qur`an tanpa wudlu, namun ia tidak boleh membaca kecuali dalam keadaan suci. Pendapat ini diambil oleh Sufyan Ats Tsauri, Syafi'i, Ahmad dan Ishaq."

Terlihat dari hadits di atas bahwa yang dimaksud dengan suci pada hadits pertama adalah tidak junub atau tidak haid. Ada hadits lain lagi yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan memegang Al-Qur’an adalah membaca Al-Qur'an.

Pertanyaan 1 : Khatib Jum’at Telah Duduk, Dan Mu’adzin Tengah Adzan

Blog sebelah menuliskan bahwa jika seseorang datang menghadiri sholat jum'at, dan saat itu khotib telah duduk (artinya telah adzan yang kedua), maka ia langsung sholat tahyatul masjid tanpa menunggu selesai adzan. Lengkapnya adalah sebagai berikut:

=================================

Pertanyaan :

Ketika khatib jum’at telah duduk, dan mu’adzin tengah adzan, apakah kita menunggu adzan selesai baru shalat tahiyatul mesjid?, atau langsung shalat tanpa menunggu adzan selesai?

Jawab:

Yang benar itu yang kedua, yaitu ia langsung shalat tahyatul mesjid tanpa menunggu mu’adzin selesai adzan ketika imam telah duduk diatas mimbar. Adapun jika ia memilih menunggu adzan selesai lalu shalat ketika imam berkhutbah, maka ia telah menyia-nyiakan kewajiban (mendengarkan khutbah) demi melakukan sunnah (mendengerkan adzan), sebab mengikuti adzan hukumnya sunnah sedangkan mendengarkan khutbah hukumnya wajib sebagaimana ditegaskan oleh dalil-dalil shahih.

Syaikh Abdul Aziz As-Sadhan dalam kitabnya Al-Irsyad menegaskan bahwa hal ini menjadi pegangan para ulama diantara yang telah memfatwakannya adalah Syaikh Abdullah ibn Jibrin dan Syaikh Abdullah ibn Quud. Dengan melihat banyak dalil shahih. Diantaranya bahwa orang yang masuk mesjid diperintahkan agar segera mendengarkan khutbah sebisa mungkin, lewat sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wasalam:

إذا جاء أحدكم يوم الجمعة والإمام يخطب فليركع ركعتين وليتجوز فيهما

“Apabila salah seorang dari kalian mendatangi shalat jum’at sedangkan imam berkhutbah, maka hendaknya ia shalat dua rakaat dan hendaknya ia memperingan shalatnya”. [Muslim no. 875].

As-Syaukani rahimahullahu dalam Nail Al-Authar (3/314 – Al-Muniriyah) berkata,

قوله في حديث الباب‏:‏ ‏(‏وليتجوز فيهما‏)‏ فيه مشروعية التخفيف لتلك الصلاة ليتفرغ لسماع الخطبة

“Sabda beliau shallallahu’alaihi wasalam ”Hendaknya ia memperingan shalatnya” menunjukan disyari’atkannya mempercepat shalat tersebut, agar dapat sesegera mungkin mendengarkan khutbah”.

=================================

Padahal, pada hadits-hadits lain menyebutkan bahwa para shohabat baru melaksanakan sholat (sunah maupun wajib) setelah adzan selesai dikumandangkan. Sebagai contoh:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ كَانَ الْمُؤَذِّنُ إِذَا أَذَّنَ قَامَ نَاسٌ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَبْتَدِرُونَ السَّوَارِيَ حَتَّى يَخْرُجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُمْ كَذَلِكَ يُصَلُّونَ الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْمَغْرِبِ وَلَمْ يَكُنْ بَيْنَ الْأَذَانِ وَالْإِقَامَةِ شَيْءٌ

Dari Anas bin Malik berkata, "Jika seorang mu'adzin sudah selesai mengumandangkan adzan (Maghrib), maka para sahabat Nabi saw berebut mendekati tiang-tiang (untuk shalat sunnah) sampai Nabi saw keluar, sementara mereka tetap dalam keadaan menunaikan shalat sunnat dua rakaat sebelum Maghrib. Dan di antara adzan dan iqamat Maghrib sangatlah sedikit (waktunya)."

Sesuai hadits di atas, menunggu selesai Adzan dulu, barulah sholat. Selain itu, pada dua hadits yang diterangkan oleh blog sebelah menyebutkan bahwa :

إذا جاء أحدكم يوم الجمعة والإمام يخطب فليركع ركعتين وليتجوز فيهما


“Apabila salah seorang dari kalian mendatangi shalat jum’at sedangkan imam berkhutbah, maka hendaknya ia shalat dua rakaat dan hendaknya ia memperingan shalatnya”

Di sini jelas bahwa sholat sunah yang dikerjakan adalah saat imam sedang khutbah, bukan saat mu'adzin sedang adzan.