Sabtu, 30 Juli 2011

Ternyata Para Sahabat Juga Tidak Manqul Tidak Apa-Apa

Sebenarnya saya sudah malas menulis lagi. Kenapa? Karena saya melihat postngan Rikrik makin lama makin aneh saja, makin berusaha memojokkan, terlihat sekali sifat sakit hatinya kepada agama Islam yang haq.

Tapi karena belakangan saya melihat ada beberapa group di facebook dan website yang menampilkan blog saya ini, akhirnya saya putuskan untuk sedikit menulis lagi.

Ketika melihat bog Rikrik, saya tertuju pada judul berbahas Sunda yang saya tidak tahu artinya. Yang ternyata di bawahnya ada artinya: Ternyata Para Sahabat juga tidak manqul tidak apa-apa. Setelah melihat penjelasannya, duh, baru terlihat kedangkalan ilmu si Rikrik ini. Inilah kenapa ilmu di dalam agama Islam itu tidak bisa hanya dengan membaca saja, karena Islam itu bukan potongan-potongan, tapi merupakan suatu kesatuan yang tidak dipisahkan.

Saya jelaskan sedikit saja mengenai tulisan yang ditemukan oleh para sahabat:
1. Tulisan di pedang tersebut sudah diserahkan kepada, yaitu manqul dengan metode munawalah. Hanya saja tempatnya ditaruh dalam bentuk pedang.
2. Tulisan di pedang Nabi itu hanya berupa kesimpulan. Ingat, ini pedang Nabi lho. Otomatis pemegangnya adalah orang terdekat Nabi, yang sudah faham hukum2 dasar agama Islam, yang salah satunya adalah zakat. Pada zaman Nabi, hadits itu memang tidak boleh ditulis, karena Nabi takut bercampur dengan penulisan Al-Qur'an. Jadi tulisan di pedang itu hanyalah berupa rangkuman, supaya tidak lupa.

Lebih jelasnya dapat dilihat di salah satu postingan rekan kami tentang wajibnya Manqul: http://kesesatan-ldii.blogspot.com/2010/10/kesesatan-manqul.html

Berikut artikel terkait, untuk menunjukan kebodohan Rikrik si penulis. Eh maaf, dia tidak bodoh, hanya saja terlalu sakit hati, sehingga yang tadinya pintar malah jadi terlihat bodoh.

====================================

Teu kenging maca buku (jiga kumpeni)...


Geningan Para Sahabat Oge Teu Manqul Teu Kunanaon??

(Ternyata Para Sahabat juga tidak manqul tidak apa-apa Bahasa Sunda)


Ckckckck…..

Al-Khatib Al-Baghdadi rahimahullahu dalam Al-Kifayah,

أَخْبَرَنَا الْحَسَنُ بْنُ أَبِي بَكْرِ بْنِ شَاذَانَ، أنا أَحْمَدُ بْنُ سَلْمَانَ الْفَقِيهُ النَّجَّادُ، ثنا إِسْمَاعِيلُ بْنُ إِسْحَاقَ، ثنا إِسْحَاقُ بْنُ مُحَمَّدٍ الْفَرْوِيُّ، ثنا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ , عَنْ نَافِعٍ , عَنِ ابْنِ عُمَرَ , أَنَّهُ وَجَدَ فِي قَائِمِ سَيْفِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ صَحِيفَةً فِيهَا: «لَيْسَ فِيمَا دُونَ خَمْسٍ مِنَ الْإِبِلِ صَدَقَةٌ , فَإِذَا كَانَتْ خَمْسًا فَفِيهَا شَاةٌ , وَفِي عَشْرٍ شَاتَانِ , وَفِي خَمْسَ عَشْرَةَ ثَلَاثُ شِيَاهٍ , وَفِي عِشْرِينَ أَرْبَعُ شِيَاهٍ , فَإِذَا بَلَغَتْ خَمْسًا وَعِشْرِينَ فَفِيهَا ابْنَةُ مَخَاضٍ , وَذَكَرَ الْحَدِيثَ بِطُولِهِ»

Mengkhabarkan kepada kami Al-Hasan ibn Abu Bakr ibn Syadzan, beliau berkata : mengkhabarkan kepada kami Ahmad ibn Sulaiman An-Najad Al-Faqihi, beliau berkata, menceritakan kepada kami Ismail ibn Ishaq, beliau berkata, menceritakan kepada kami Ishaq ibn Muhammad Al-Farawi, beliau berkata, menceritakan kepada kami Abdullah ibn Umar dari Nafi dari Ibn Umar. Sesungguhnya beliau mendapatkan pada gagang pedang peninggalan Umar ibn Khattab radhiyallahu’anhu sebuah lembaran (tertulis didalamnya): “Tidak ada zakat di bawah lima unta, jika ada lima unta maka (zakatnya) satu kambing, pada sepuluh (zakatnya) dua kambing, pada lima belas (zakatnya) tiga kambing dan pada dua puluh (zakatnya) empat kambing. Apabila sampai dua puluh lima maka (zakatnya) anak unta yang umurnya masuk dua tahun. - beliau menyebutkan hadis dengan panjang- .

Semisal atsar ini juga dinukil dari perbuatan Abu Bakar, Umar, Ali dan Aisyah –semoga Allah meridhoi mereka semuanya-.

Pertama, dari perbuatan Abu Bakar radhiyallahu’anhu dan Umar radhiyallahu’anhu. Dikeluarkan oleh Abdurrazaq (no. 9887, 9905, 9963, 9977, 9997), Abu Dawud (no. 1568), Tirmidzi (no. 621) dan Ahmad (no. 4632),

عَنْ سَالِمٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ كَتَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كِتَابَ الصَّدَقَةِ فَلَمْ يُخْرِجْهُ إِلَى عُمَّالِهِ حَتَّى قُبِضَ فَقَرَنَهُ بِسَيْفِهِ فَعَمِلَ بِهِ أَبُو بَكْرٍ حَتَّى قُبِضَ ثُمَّ عَمِلَ بِهِ عُمَرُ حَتَّى قُبِضَ فَكَانَ فِيهِ

Dari Salim dari ayahnya, ia berkata; Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam telah menulis catatan mengenai zakat dan beliau tidak mengeluarkannya kepada para pegawainya hingga beliau meninggal. Beliau menyimpan catatan itu pada pedangnya. Kemudian beramal dengan catatan itu Abu Bakr hingga ia meninggal, kemudian dilaksanakan oleh Umar hingga ia meninggal. Catatan tersebut berisi…. (ini lafazh Abu Dawud).

Dengan lafazh ini juga dalam Al-Amali karya Ibnu Janzawaih (no. 1392), Al-Hakim dalam Al-Mustadrak (no. 1443), dan Baihaqi (no. 7252).

Kedua, dari Ali radhiyallahu’anhu. Dikeluarkan oleh Ibnu Abdil Barr (1/304) no. 393 –cet Darul Ibnu Al-Jauzi), disebutkan dalam Musnad Asy-Syafi’i (1/198 – cet Darul Kutub Al-Ilmiyah), Baihaqi dalam Sunan juga dari jalan Asy-Syafi’i (no. 15894), semuanya dari jalan Abi Ja’far Muhammad bin Ali dari Ali yang berkata:

وُجِدَ فِي قَائِمِ سَيْفِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَحِيفَةٌ فِيهَا مَكْتُوبٌ

“Aku menemukan dalam gagang pedang Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam sebuah tulisan didalamnya termaktub….” (ini lafazh Ibnu Abdil Barr).

Ketiga, dari Aisyah radhiyallahu’anha. Dikeluarkan oleh Al-Mawardzi dalam As-Sunnah (no. 282 – Tahqiq Salim Ahmad As-Salafi), Abu Ya’la (8/198-199) no. 4757, Ad-Daruquthni dalam Sunan (3249), Al-Hakim dalam Al-Mustadrak (no. 8024), dan Baihaqi (no. 15896, 15915), Aisyah radhiyallahu’anha berkata,

وُجِدَ فِي قَائِمِ سَيْفِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كِتَابَانِ فِي أَحَدِهِمَا

“Aku menemukan dalam gagang pedang Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam dua buah surat dalam salah satu dari keduanya (tertulis)…” (ini lafazh Al-Mawardzi).

Al-Hakim berkata, “Hadits ini shahih isnadnya dan mereka tidak mengeluarkannya”, Adz-Dzahabi berkata, “Shahih”. Disebutkan Al-Haitsami dalam Majma az-Zawaid (6/295), “Diriwayatkan oleh Abu Ya’la dan rijalnya shahih selain Malik bin Abi Ar-Rojul dan sungguh dia ditsiqahkan oleh Ibnu Hibban dan tidak didhaifkan oleh seorang pun”.

Ieu sanes hiji-hiji na dalil, seueur dalil lain na ngeunaan batalna ilmu manqul, aduh kumaha atuh jokam?? (ini bukan satu-satunya dalil, banyak dalil lainnya mengenai batalnya ilmu manqul, aduh bagaimana dong jokam? –bahasa Sunda)

Selasa, 13 Juli 2010

Abdullah Bin Mubarak Dan Mengusap Muka Setalah Berdoa

Di sini saya tidak ingin membahas Abdullah bin Mubarak, namun akan membahas masalah mengusap muka setelah berdoa.

Tidak henti-henti para mantan LDII ini berusaha menjelekkan LDII, dengan cara mengatakan bahwa cara ibadah LDII itu salah. Padahal, cara ibadah LDII ini juga dipraktekkan oleh hampir semua umat Islam. Artinya, mereka bukan hanya menjelekkan LDII, namun juga menjelekkan ibadah umat Islam pada umumnya?

Contohnya apa? Pada sekitar tahun 2008 lalu, mereka mengatakan bahwa hadits yang meriwayatkan bahwa mengangkat tangan saat berdo'a itu tidak ada yang shohih, ngaco, dibuat-buat, bid'ah, dan semacamnya. Padahal, bisa dikatakan hampir semua umat Islam berdo'a dengan mengangkat kedua tangannya. Yang tidak boleh dilakukan adalah berdoa dengan menggunakan punggung tangan seperti yang dilakukan oleh orang Nasrani. Jadi, apa yang mereka lakukan waktu itu saat berdoa? Ya hanya duduk diam dan mengatakan permintaannya.

Tapi kelihatannya sekarang mereka sudah sadar bahwabanyak hadits shohih yang meriwayatkan tentang mengangkat tangan ketika berdo'a. Sekarang, yang dipermasalahkan oleh mereka adalah mengusap muka setelah berdoa. Mereka mengatakan kalau hadits mengusap muka setelah berdoa tidak ada yang shohih (lihat artikel di bawah. Padahal, cukup banyak hadits tentang mengusap wajah setelah berdoa. Dan saya yakin, hampir semua umat Islam mengusap wajahnya ketika berdoa, kecuali mungkin orang-orang ini saja.

Contoh hadits tentang mengusap muka setelah berdoa:

حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا ابْنُ لَهِيعَةَ عَنْ حَفْصِ بْنِ هَاشِمِ بْنِ عُتْبَةَ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ عَنْ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا دَعَا فَرَفَعَ يَدَيْهِ مَسَحَ وَجْهَهُ بِيَدَيْهِ

Telah menceritakan kepada Kami Qutaibah bin Sa'id, telah menceritakan kepada Kami Ibnu Lahi'ah dari Hafsh bin Hasyim bin 'Utbah bin Abu Waqqosh dari As-Saib bin Yazid dari ayahnya, bahwa Nabi sholallohu 'alaihi wasallam apabila berdoa maka beliau mengangkat kedua tangannya dan mengusap wajahnya dengan kedua tangannya. (HR. Abu Daud).

Saya tidak mau capek-capek terlalu meladeni mereka dengan menampilkan terlalu banyak hadits. Namun saya juga tidak mau umat Islam pada umumnya menjadi sesat karena ulag mereka, maka sengaja saya tampilkan satu hadits di atas. Silakan jika ingin mencari hadits-hadits lainnya tentang mengusap muka setelah berdoa.

Berikut ini postingan mereka mengenai tidak adanya hadits yang shohih tentang mengusap muka setelah berdoa.

========================================

Ingatkah anda siapa Abdullah bin Mubarak?

Benar !!!!

Beliau lah yang berkata:

الإِسْنَادُ مِنَ الدِّينِ وَلَوْلاَ الإِسْنَادُ لَقَالَ مَنْ شَاءَ مَا شَاءَ

‘Isnad itu bagian dari agama, seandainya tanpa isnad niscaya seseorang akan berkata apa saja yang dikehendakinya”.

Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim rahimahullahu dalam Muqadimah:

وَحَدَّثَنِى مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ قُهْزَاذَ - مِنْ أَهْلِ مَرْوَ - قَالَ سَمِعْتُ عَبْدَانَ بْنَ عُثْمَانَ يَقُولُ سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ الْمُبَارَكِ يَقُولُ الإِسْنَادُ مِنَ الدِّينِ وَلَوْلاَ الإِسْنَادُ لَقَالَ مَنْ شَاءَ مَا شَاءَ

“Dan menceritakan kepada saya Muhammad bin Abdullah bin Quhjadz –dari penduduk Marwa- beliau berkata, mendengar ‘Abdan bin Utsman berkata, mendengar Abdullah bin Mubarak berkata, : ‘Isnad itu bagian dari agama, seandainya tanpa isnad niscaya seseorang akan berkata apa saja yang dikehendakinya”.

Tahukah Anda Ternyata Abdullah Bin Mubarak rahimahullahu Tidak Mengusap Wajahnya Setalah Berdoa karena menurut beliau hadits-haditsnya tidak ada yang shahih??!!!

Imam Baihaqi rahimahullahu dalam Sunan al-Kubro (2/212):

أَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الْحَافِظُ أَخْبَرَنَا أَبُو بَكْرٍ الْجَرَّاحِىُّ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ شَاسَوَيْهِ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْكَرِيمِ السُّكَّرِىُّ حَدَّثَنَا وَهْبُ بْنُ زَمْعَةَ أَخْبَرَنِى عَلِىُّ الْبَاشَانِىُّ قَالَ : سَأَلَتُ عَبْدَ اللَّهِ يَعْنِى ابْنَ الْمُبَارَكِ عَنِ الَّذِى إِذَا دَعَا مَسَحَ وَجْهَهُ ، قَالَ : لَمْ أَجِدْ لَهُ ثَبَتًا

Mengkhabarkan kepada kami Abu Abdillah Al-Hafizh, mengkhabarkan kepada kami Abu Bakar Al-Jarahi, menceritakan kepada kami Yahya bin Syasawaih, menceritakan kepada kami Abdulkarim As-Sukari, menceritakan kepada kami Wahab bin Jam’ah, mengkhabarkan kepada saya Ali Al-Basyani yang berkata: Ditanya Abdullah yaitu Ibn Mubarak tentang orang yang berdoa kemudian mengusap wajahnya, beliau berkata: “Aku tidak mendapati perbuatan itu memiliki sumber yang jelas”.

Maksudnya, beliau meyakini bahwa perbuatan mengusap muka setelah berdoa tidak termasuk sunnah karena riwayatnya lemah.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu dalam Majmu’ Fatawa (22/519) menyetujui ini, beliau berkata:

وَأَمَّا رَفْعُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَيْهِ فِي الدُّعَاءِ : فَقَدْ جَاءَ فِيهِ أَحَادِيثُ كَثِيرَةٌ صَحِيحَةٌ وَأَمَّا مَسْحُهُ وَجْهَهُ بِيَدَيْهِ فَلَيْسَ عَنْهُ فِيهِ إلَّا حَدِيثٌ أَوْ حَدِيثَانِ لَا يَقُومُ بِهِمَا حُجَّةٌ وَاَللَّهُ أَعْلَمُ

“Banyak hadits shohih yang menceritakan bahwasannya Rosululloh shallallahu’alaihi wasallam mengangkat tangannya saat berdo’a, adapun mengenai mengusap wajah dengan telapak tangan seusai berdo’a, maka cuma ada satu atau dua hadits yang lemah tidak bisa dijadikan sebagai hujjah, wallahu'alam”.

Begitu pula menurut Ulama Haramain dan juga Mufti Arab Saudi yang terdahulu, Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullahu dalam Fatawa Islamiyah (4/229):

فالمقصود أن المسح ليس فيه أحاديث صحيحة فلم يفعله النبي ، - صلى الله عليه وسلم - ، في صلاة الاستسقاء ولا في غيرها من المواقف التي رفع فيها يديه كموقفه عند الصفا والمروة وفي عرفات وفي مزدلفة وعند الجمار لم يذكروا أنه مسح وجهه بيديه لما دعا فدل ذلك على أن الأفضل ترك ذلك وبالله التوفيق .

Kesimpulannya tidak ada satupun hadits shohih yang mensyariatkan mengusap wajah selesai berdo’a, Rosululloh shallallahu’alaihi wasallam tidak pernah melakukannya baik saat sholat istisqo’, juga tidak pada saat lainnya misalnya saat berada di Bukit Shofa, Marwa, di Padang Arafah, Muzdalifah dan melempar jumroh. Maka lebih baiknya hal itu ditinggalkan. wabilahitaufiq”.

Begitu pula menurut ahli hadits lainnya seperti Muhadits Abad Ini Syaikh Nasiruddin Al-Albani rahimahullahu (lihat Irwa'ul Ghalil (2/178-182)) dan Anggota Kibar Ulama dan Komisi Fatwa Arab Saudi terdahulu Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullahu (rujuki kitabnya Juzun fi Mash Al-Wajhi bi Al-Yadaini Ba’da Raf’ihima Ad-Du’a) dan ulama-ulama terdahulu maupun yang sekarang.

Dan Abdullah bin Mubarak rahimahullahu adalah orang yang sangat zuhud, banyak beribadah dan berhati-hati dalam agamanya sebagaimana diriwayatkan dalam kitab-kitab tarikh. Dan beliau tidak lah merasa sombong dengan amalnya itu, tidak pula merasa besar dan tinggi hati, beliau tidak sebagaimana keadaan Khawarij di zaman ini, yaitu orang-orang yang terlalu percaya diri dengan meyakini setiap amalnya pasti diterima !!!! walaupun pada kenyataannya banyak sekali mengamalkan bid’ah dan khurafat bahkan kesyirikan tanpa mereka sadari. Pada satu sisi mereka Khawarij dan pada sisi yang lain mereka juga Murji’ah.

Dan pernah Ibnu Mubarak rahimahullahu bertemu orang yang berpemahaman Khawarij dizamannya yang mirip dengan ini sebagaimana diriwayatkan Imam Ash-Shabuni rahimahullahu dalam Aqidah Salaf Ashabul Hadits no. 110 :

وسمعت أبا جعفر محمد بن صالح بن هانيء يقول: سمعت أبا بكر محمد بن شعيب يقول: سمعت إسحاق بن إبراهيم الحنظلي يقول: قدم ابن المبارك الري فقام إليه رجل من العباد، الظن أنه يذهب مذهب الخوارج، فقال له: يا أبا عبد الرحمن ما تقول فيمن يزني ويسرق ويشرب الخمر؟ قال لا أخرجه من الإيمان، فقال: يا أبا عبد الرحمن على كبر السن صرت مرجئا؟ فقال: لا تقبلني المرجئة. المرجئة تقول: حسناتنا مقبولة، وسيئاتنا مغفورة، ولو علمت أني قبلت مني حسنة لشهدت أني في الجنة

Dan mendengar Abu Ja’far Muhammad bin Sholih bin Hani’a berkata: mendengar Abu Bakar Muhammad bin Syu’aib berkata: mendengar Ishaq bin Ibrohim Al-Handhali berkata: bahwa Ibn Mubarak suatu waktu datang ke kota. Salah seorang ahli ibadah tiba-tiba mendatanginya –yang diperkirakan penganut madzhab khawarij-, lalu berkata kepadanya, “Wahai Abu Abdurahman, apa pendapatmu terhadap seorang pezina, pencuri, dan peminum khamer?”. Beliau menjawab, “Aku tidak mengeluarkan mereka dari keimanan”. Maka lelaki itu menukas: “Wahai Abu Abdurahman, sudah tua-tua begini kamu malah jadi murji’ah (yang mengatakan iman terpisah dari amal -pen)”. Beliau menimpali, ”Tidak, justru kami bersebrangan dengan orang murji’ah. Mereka mengatakan: ‘Kebajikan-kebajikan kita pasti diterima, sedangkan kejahatan-kejahatan kita pasti diampuni’. Seandainya aku (Ibn Mubarak) tahu bahwa kebajikanku sudah diterima, niscaya aku bersaksi bahwa aku masuk jannah”.

Atsar ini dalam Risalah Al-Ghoniyah karya Imam Al-Khothobi rahimahullahu hal. 47.

Maka perhatikanlah wahai Khawarij!!!

Kembalilah kepada mazhab salaf…. Jangan lah engkau mencaci salaf dan mazhabnya sedangkan engkau tidak mengetahui ilmunya …. Melecehkan sedangkan engkau tidak pernah menelaah secara mendalam!!! Mengolok-ngolok padahal kalian jahil !!!

Seandainya Abdullah bin Mubarak rahimahullahu bertemu dengan kalian, niscaya beliau akan berkata kepada kalian sebagaimana perkataan beliau pada seseorang di zamannya. Diriwayatkan oleh Muslim rahimahullahu dalam Muqadimah :

وَقَالَ مُحَمَّدٌ سَمِعْتُ عَلِىَّ بْنَ شَقِيقٍ يَقُولُ سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ الْمُبَارَكِ يَقُولُ عَلَى رُءُوسِ النَّاسِ دَعُوا حَدِيثَ عَمْرِو بْنِ ثَابِتٍ فَإِنَّهُ كَانَ يَسُبُّ السَّلَفَ.

Dan berkata Muhammad, aku mendengar Ali bin Syaqiq berkata, aku mendengar Abdullah ibn Mubarak berkata kepada orang-orang: “Tinggalkanlah oleh kalian haditsnya Amr ibn Tsabit karena ia telah mencaci salaf !!!!”. <*>

Rabu, 12 Mei 2010

Kemusykilan Dalam Hadits Mengusap Tengkuk (Leher) Dalam Wudhu

Setelah sebelumnya mengatakan bahwa hadits tentang mengusap tengkuk ketika berwudhu itu tidak ada yang shohih (padahal sebenarnya ada dan bisa dibaca di artikel ini), para mantan LDII menulis lagi seperti berikut:

===================================
Lalu datanglah sebagian orang yang kurang paham permasalahan ini, menuduh kami tidak pernah membaca dan jahil tentang hadits Abdullah bin Zaid dalam riwayat Bukhori, yang berbunyi:

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ عَمْرِو بْنِ يَحْيَى الْمَازِنِيِّ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِعَبْدِ اللَّهِ بْنِ زَيْدٍ وَهُوَ جَدُّ عَمْرِو بْنِ يَحْيَى أَتَسْتَطِيعُ أَنْ تُرِيَنِي كَيْفَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَوَضَّأُ فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ زَيْدٍ نَعَمْ فَدَعَا بِمَاءٍ فَأَفْرَغَ عَلَى يَدَيْهِ فَغَسَلَ مَرَّتَيْنِ ثُمَّ مَضْمَضَ وَاسْتَنْثَرَ ثَلَاثًا ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلَاثًا ثُمَّ غَسَلَ يَدَيْهِ مَرَّتَيْنِ مَرَّتَيْنِ إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ ثُمَّ مَسَحَ رَأْسَهُ بِيَدَيْهِ فَأَقْبَلَ بِهِمَا وَأَدْبَرَ بَدَأَ بِمُقَدَّمِ رَأْسِهِ حَتَّى ذَهَبَ بِهِمَا إِلَى قَفَاهُ ثُمَّ رَدَّهُمَا إِلَى الْمَكَانِ الَّذِي بَدَأَ مِنْهُ ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيْهِ

Telah menceritakan kepada kami 'Abdullah bin Yusuf, dia berkata, telah mengabarkan kepada kami Malik dari 'Amr bin Yahya Al Mazini dari Bapaknya bahwa ada seorang laki-laki berkata kepada 'Abdullah bin Zaid, dia ini adalah kakek dari 'Amr bin Yahya: "Bisakah engkau perlihatkan kepadaku bagaimana Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam berwudhu?". 'Abdulloh bin Zaid lalu menjawab, "Tentu." Abdulloh lalu minta diambilkan air wudhu, lalu ia menuangkan air pada kedua tangannya dan membasuhnya dua kali, lalu berkumur dan mengeluarkan air dari dalam hidung sebanyak kali, kemudian membasuh mukanya tiga kali, kemudian membasuh kedua tangan dua kali dua kali sampai ke siku, kemudian mengusap kepalanya dengan dua tangan, dimulai dari bagian depan kepalanya (bagian atas dahinya) dan menariknya hingga sampai tengkuk, lalu menariknya kembali ke tempat semula. Kemudian setelah itu membasuh kedua kakinya."
===================================

Sayangnya, inilah kekurangan orang-orang mantan LDII. Mereka terlalu percaya dengan ucapan-ucapan orang-orang arab. Padahal, ucapan orang arab itu belum tentu benar. Zaman dahulu, Nabi lahir di arab. Apakah tempat Nabi lahir itu sudah Islam semua? Tentu tidak. Justru Nabi meluruskan mereka dan mengajak mereka masuk Islam. Kembali ke ulama arab. Apakah ucapan mereka---karena mereka tinggal di arab dan bisa berbahasa arab---lalu bisa dijadikan pegangan? Nanti dulu...

Mereka menjelaskan hadits Bukhori di atas seperti ini:

===================================
حَتَّى ذَهَبَ بِهِمَا إِلَى قَفَاهُ

menarik kedua tanganya hingga sampai tengkuk

Yaitu bahwa batas tarikan usapan adalah tengkuk, artinya tarikan usapan tidak boleh sampai menyentuh tengkuk cukup sampai kepala bagian belakang, sebagaimana awal tarikan adalah dahi, sedangkan dahi seperti kita ketahui tidak wajib diusap karena tidak termasuk kepala.
===================================

Anda yang cukup bisa berbahasa Indonesia, tentulah tahu bahwa di sana tertulis sampai tengkuk. Adakah penjelasan tidak bolehnya mengenai tengkuk? Selain itu, jika memang benar sampai tengkuk itu adalah batasannya, apakah ada larangan untuk mengusap tengkuk? Seperti sewaktu Abu Huroiroh mengusap air wudhunya sampai ketiak (padahal hanya disyaratkan sampai siku), apakah ada larangan? Justru Abu Huroiroh melakukannya agar wudhunya lebih sempurna.

حَدَّثَنَا حُسَيْنُ بْنُ مُحَمَّدٍ قَالَ حَدَّثَنَا خَلَفٌ يَعْنِي ابْنَ خَلِيفَةَ عَنْ أَبِي مَالِكٍ الْأَشْجَعِيِّ عَنْ أَبِي حَازِمٍ قَالَ كُنْتُ خَلْفَ أَبِي هُرَيْرَةَ وَهُوَ يَتَوَضَّأُ وَهُوَ يُمِرُّ الْوَضُوءَ إِلَى إِبْطِهِ فَقُلْتُ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ مَا هَذَا الْوُضُوءُ قَالَ يَا بَنِي فَرُّوخَ أَنْتُمْ هَاهُنَا لَوْ عَلِمْتُ أَنَّكُمْ هَاهُنَا مَا تَوَضَّأْتُ هَذَا الْوُضُوءَ إِنِّي سَمِعْتُ خَلِيلِي يَقُولُ تَبْلُغُ الْحِلْيَةُ مِنْ الْمُؤْمِنِ إِلَى حَيْثُ يَبْلُغُ الْوُضُوءُ

Telah menceritakan kepada kami Husain bin Muhammad telah menceritakan kepada kami Kholaf -yaitu Ibnu Kholifah- dari Abu Malik AlAsyja'i dari Abu Hazim, berkata dia; "Aku berada di belakang Abu Huroiroh ketika dia sedang berwudhu, dan meratakan air wudhunya hingga ketiaknya, maka akupun bertanya; "Wahai Abu Huroiroh, wudhu apa ini?" ia menjawab; "Wahai bani Farruh, ternyata kamu berada di sini, kalau saja aku mengetahui bahwa kamu berada di sini niscaya aku tidak akan berwudhu seperti ini, sesungguhnya aku mendengar kekasihku (Nabi) bersabda: "Ukuran perhiasan seorang mukmin (di akhirat) menurut kesempurnaan wudhu`nya."

Di hadits yang lain bahkan menyebutkan bahwa bagian tubuh yang terkena air wudhu tidak akan terkena api neraka.

Jadi, tidak ada larangan untuk mengusap tengkuk, bukan? Selain itu, apakah salah jika mengusap tengkuk dilakukan agar wudhu lebih sempurna?

Berikut postingan lengkap mereka, agar saya tidak dikatakan mengada-ngada.

===================================
Dahulu imam hizbi mencontohkan wudhu dengan mengusap tengkuk (leher) bahkan tidak cukup dengan itu, ia pun menggosok-gosokannya sebentar lalu menariknya kedepan tanpa (langsung) membasuh telinganya. Maka pengikutnya yang setia mengikutinya seperti biasanya.


Ketika kami menggulirkan lemahnya semua hadits tentang mengusap tengkuk (leher) dalam wudhu, dan kesalahan tidak langsung mengusap telinga, yakni seharusnya mereka tidak mengambil air yang baru ketika mengusap telinga, marahlah mereka!!! Lalu mencoba mencari-cari hujjah dihadapan pengikutnya yang awam. Padahal kembali kepada kebenaran bukanlah hal yang aib.

Sebenarnya tentang bid’ahnya perbuatan mengusap tengkuk (leher) dan mengosok-gosoknya, bukan pendapat baru yang dimunculkan oleh kami, akan tetapi ini juga adalah pilihan ulama terdahulu karena memang tidak ditemukan dalil shahih tentang masalah ini.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu dalam Majmu Al-Fatawa (21/127-128):

" لم يصح عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه مسح على عنقه في الوضوء ، بل ولا روي عنه ذلك في حديث صحيح ، بل الأحاديث الصحيحة التي فيها صفة وضوء النبي صلى الله عليه وسلم لم يكن يمسح على عنقه ; ولهذا لم يستحب ذلك جمهور العلماء كمالك والشافعي وأحمد في ظاهر مذهبهم"

“Tidak benar dari Nabi shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam bahwa beliau mengusap lehernya dalam wudhu, bahkan tidak diriwayatkan hal tersebut dari beliau dalam hadits yang shahih. Bahkan hadits-hadits shahih, yang di dalamnya ada (penjelasan) sifat wudhu Nabi shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam , (menerangkan bahwa) beliau tidak mengusap lehernya. Karena itulah, hal tersebut tidak dianggap sunnah oleh Jumhur Ulama seperti Malik, Ahmad dan Syafi’i dalam zhahir madzhab mereka”.

Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata dalam Zadul Ma’ad (1/195):

ولم يصح عنه (صلى الله عليه وسلم) في مسح العنق

“Tidak ada satu hadits pun yang benar dari beliau (shallallahu ’alaihi wasallam) tentang mengusap leher”.

Semisal ini juga menurut An-Nawawi, As-Syaukani dan lainnya dari ulama terdahulu.

Ketika Mufti Arab Saudi Syaikh Abdul Aziz bin Bazz rahimahullahu ditanya tentang masalah ini beliau berkata:

لا يستحب ، ولا يشرع مسح العنق ، وإنما المسح يكون للرأس والأذنين فقط ، كما دل على ذلك الكتاب والسنة .

“Tidak disukai dan tidak disyari’atkan mengusap leher, adapun mengusap yang disyari’atkan adalah mengusap kepala dan dua telinga saja, sebagaimana terdapat (dalilnya) dalam Kitabullah dan Sunnah”. (Majmu Fatawa Syaikh Bin Bazz (10/102)).

Dan demikian pula menurut Lajnah Daimah (Syaikh Abdullah Qu’ud, Syaikh Abdullah Al-Ghudayan, Syaikh Abdurrazaq Afifi dan Syaikh Abdul Aziz bin Bazz) dalam Fatawa (5/235-236), Syaikh Shalih Fauzan dalam Al-Muntaqo min Fatawa (5/no.6), Imam Al-Albani, Syaikh ibnu Utsaimin, Syaikh Ibnu Jibrin, Syaikh Shalih Alu Syaikh dan lainnya dari ulama masa kini yang tidak mungkin kami sebutkan satu persatu.

Lalu datanglah sebagian orang yang kurang paham permasalahan ini, menuduh kami tidak pernah membaca dan jahil tentang hadits Abdullah bin Zaid dalam riwayat Bukhori, yang berbunyi:

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ عَمْرِو بْنِ يَحْيَى الْمَازِنِيِّ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِعَبْدِ اللَّهِ بْنِ زَيْدٍ وَهُوَ جَدُّ عَمْرِو بْنِ يَحْيَى أَتَسْتَطِيعُ أَنْ تُرِيَنِي كَيْفَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَوَضَّأُ فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ زَيْدٍ نَعَمْ فَدَعَا بِمَاءٍ فَأَفْرَغَ عَلَى يَدَيْهِ فَغَسَلَ مَرَّتَيْنِ ثُمَّ مَضْمَضَ وَاسْتَنْثَرَ ثَلَاثًا ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلَاثًا ثُمَّ غَسَلَ يَدَيْهِ مَرَّتَيْنِ مَرَّتَيْنِ إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ ثُمَّ مَسَحَ رَأْسَهُ بِيَدَيْهِ فَأَقْبَلَ بِهِمَا وَأَدْبَرَ بَدَأَ بِمُقَدَّمِ رَأْسِهِ حَتَّى ذَهَبَ بِهِمَا إِلَى قَفَاهُ ثُمَّ رَدَّهُمَا إِلَى الْمَكَانِ الَّذِي بَدَأَ مِنْهُ ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيْهِ

Telah menceritakan kepada kami 'Abdullah bin Yusuf, dia berkata, telah mengabarkan kepada kami Malik dari 'Amr bin Yahya Al Mazini dari Bapaknya bahwa ada seorang laki-laki berkata kepada 'Abdullah bin Zaid, dia ini adalah kakek dari 'Amr bin Yahya: "Bisakah engkau perlihatkan kepadaku bagaimana Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam berwudhu?". 'Abdulloh bin Zaid lalu menjawab, "Tentu." Abdulloh lalu minta diambilkan air wudhu, lalu ia menuangkan air pada kedua tangannya dan membasuhnya dua kali, lalu berkumur dan mengeluarkan air dari dalam hidung sebanyak kali, kemudian membasuh mukanya tiga kali, kemudian membasuh kedua tangan dua kali dua kali sampai ke siku, kemudian mengusap kepalanya dengan dua tangan, dimulai dari bagian depan kepalanya (bagian atas dahinya) dan menariknya hingga sampai tengkuk, lalu menariknya kembali ke tempat semula. Kemudian setelah itu membasuh kedua kakinya."

Dan sebenarnya mereka lah yang kurang paham. Hadits ini tidak ada isyarat akan wajibnya mengusap tengkuk/leher dalam wudhu apalagi mengosok-gosoknya. Oleh sebab itu para ulama tidak menggunakannya sebagai dalil wajibnya mengusap leher/tengkuk.

Makna hadits ini sebagai berikut:

ثُمَّ مَسَحَ رَأْسَهُ بِيَدَيْهِ

“Kemudian mengusap kepalanya dengan dua tangannya”.

Kami katakan: ini artinya hanya kepala yang wajib diusap, sesuai dengan firman Allah Ta’ala:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فاغْسِلُواْ وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُواْ بِرُؤُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَينِ

“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan usaplah kepalamu dan (basuhlah) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.” (QS. Al-Maidah : 6).

Adapun tengkuk/leher seperti telah maklum tidak termasuk kepala.

Kemudian Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam menerangkan bagaimana caranya mengusap itu dengan sabdanya:

حَتَّى ذَهَبَ بِهِمَا إِلَى قَفَاهُ

menarik kedua tanganya hingga sampai tengkuk

Yaitu bahwa batas tarikan usapan adalah tengkuk, artinya tarikan usapan tidak boleh sampai menyentuh tengkuk cukup sampai kepala bagian belakang, sebagaimana awal tarikan adalah dahi, sedangkan dahi seperti kita ketahui tidak wajib diusap karena tidak termasuk kepala.

Berbeda dengan telinga, terdapat keterangan jelas tentangnya, Imam Tirmidzi rahimahullahu (no. 37) berkata,

حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ عَنْ سِنَانِ بْنِ رَبِيعَةَ عَنْ شَهْرِ بْنِ حَوْشَبٍ عَنْ أَبِي أُمَامَةَ قَالَ تَوَضَّأَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَغَسَلَ وَجْهَهُ ثَلَاثًا وَيَدَيْهِ ثَلَاثًا وَمَسَحَ بِرَأْسِهِ وَقَالَ الْأُذُنَانِ مِنْ الرَّأْسِ

Menceritakan kepada kami Qutaibah, menceritakan kepada kami Hammad bin Zaid dari Sinan bin Rabi’ah dari Syahr bin Hausyab dari Abu Ummah yang berkata: Nabi shallallahu’alaihi wasallam berwudhu sambil membasuh wajahnya tiga kali, dan tangannya tiga kali, dan mengusap kepalanya, beliau bersabda: "Kedua telinga termasuk kepala".

Hadits ini dikeluarkan juga oleh Abu Dawud (no. 134) dan Ibnu Majah (no, 444), kemudian dishohihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shohihah (no. 36).

Imam Tirmidzi rahimahullahu berkata setelah menyebutkan hadits ini,

وَالْعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَ أَكْثَرِ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَنْ بَعْدَهُمْ أَنَّ الْأُذُنَيْنِ مِنْ الرَّأْسِ وَبِهِ يَقُولُ سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ وَابْنُ الْمُبَارَكِ وَالشَّافِعِيُّ وَأَحْمَدُ وَإِسْحَقُ

"Amalan adalah berdasarkan hadits ini di sisi mayoritas ahli ilmu dari kalangan sahabat Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, dan orang-orang setelahnya bahwa kedua telinga termasuk bagian dari kepala. Pendapat inilah yang dinyatakan oleh Sufyan Ats-Tsauri, Ibnul Mubarok, Asy-Syafi’i, Ahmad, dan Ishaq".

Kalau demikian, maka dua telinga termasuk keumuman perintah Allah Ta’ala, “Usaplah kepalamu” ini berbeda dengan leher. Sehingga prakteknya mengusap kepala itu dimulai dari meletakan dua tangan didahi bagian atas kemudian ditarik ke bagian belakang kepala, lalu ditarik lagi kedepan, kemudian tanpa mengambil air baru langsung usapkan ke telinga. Begitulah menurut sunnah, walhamdulillah.

===================================


Kamis, 06 Mei 2010

Pemimpin yang tidakpunya kekuasaan tidak berhak ditaati sesuai perintah Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wasalam

Judul yang saya tuliskan di atas itu diperpendek dari judul di Blog Rikrik, yang judul aslinya adalah: Syaikh Abdus Salam ibn Barjas : "Adapun pemimpin yang tidak jelas keberadaannya atau tidak mempunyai kekuasaan sedikitpun, maka pemimpin yang seperti ini tidak termasuk kategori yang berhak ditaati sesuai perintah Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wasalam.

Kenapa saya perpendek? Karena batasan judul di blogspot yang hanya mengizinkan maksimal sekian karakter (maaf, saya tidak hitung berapa karakter).

Saya sangat menyayangkan mengapa dia mengambil rujukan dari seseorang dengan mengatakan dari Nabi, padahal TIDAK ADA HADITS YANG MENGATAKAN HAL ITU. Artinya, mohon maaf, orang yang dituliskan di sini adalah pendusta.

Mengenai masalah pemimpin yang tidak punya kekuasaan tidak berhak ditaati jelas tidak ada di dalam hadits. Mengapa?
1. Sewaktu Nabi baru diutus oleh Alloh, apakah Nabi Muhammad langsung punya kekuasaan? Anda sudah tahu jawabannya, yaitu bahwa Nabi tidak punya kekuasaan. Bahkan saat itu Nabi dan umat Islam harus Hijroh ke Madinah.
2. Apakah jika Nabi tidak punya kekuasaan, lalu Nabi Muhammad tidak berhak ditaati? Anda sudah tahu jawabannya. Bahkan kalau mengatakan bahwa Nabi Muhammad tidak berhak ditaati, jelas bahwa ini hukumnya bukanlah tergolong umat Islam.

Kembali tentang masalah di atas, bahwa jelas keharomannya mengatakan bahwa sesuatu itu bukan perintah dari Nabi, namun disebut sebagai perintah dari Nabi. Sesuai dalil

و حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدٍ الْغُبَرِيُّ حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ عَنْ أَبِي حَصِينٍ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ

Telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin Ubaid al-Ghubari] telah menceritakan kepada kami [Abu Awanah] dari [Abu Hashin] dari [Abu Shalih] dari [Abu Hurairah] dia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa berdusta atas namaku maka hendaklah dia menempati tempat duduknya dari neraka." (HR. Muslim No. 4)

Berikut ini tulisan dari para mantan LDII tentang 'ulama besar' yang mereka sebut-sebut itu.

============================

Syaikh Abdus Salam ibn Barjas

ibn Nashir Ali Abdul Karim rahimahullah.


”Adapun pemimpin yang tidak jelas keberadaannya atau tidak mempunyai kekuasaan sedikitpun, maka pemimpin yang seperti ini tidak termasuk kategori yang berhak ditaati sesuai perintah Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wasalam”

(Mu’amalatul Hukkam)


Syaikh Ibn Barjas rahimahullahu dalam kitab Mu’amalatul Hukkam fi Dhauil Kitab wa Sunnah hal 45-46 berkata :

القاعدة الخامسة : الأئمة الذين أمر النبي r بطاعتهم هم الأئمة الموجودون المعلومون، الذين لهم سلطان وقدرة

“Kaidah yang kelima: Imam yang diperintah Nabi shallallahu’alaihi wasalam untuk ditaati adalah para imam yang keberadaannya konkrit diketahui, memiliki kekuasaan dan kemampuan”.

Kemudian beliau mengutip perkataan Ibn Taimiyah dalam Minhajus Sunnah An-Nabawiyyah (1/115) :

وهو أن النبي r أمر بطاعة الأئمة الموجودين المعلومين الذين لهم سلطان يقدرون به على سياسة الناس لا بطاعة معدوم ولا مجهول ولا من ليس له سلطان ولا قدرة على شيء أصلا

“Sesungguhnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Salam telah memerintahkan agar kita mentaati pemimpin yang ada dan telah diakui kekuasaan dan kedaulatannya untuk mengatur manusia, tidak memerintah kita untuk mentaati pemimpin yang tidak jelas dan tidak diketahui keberadaannya, juga tidak mempunyai kekuasaan dan kemampuan sedikitpun”.

dan menambahkan :

وحجة هذا : أن مقاصد الإمامة التي جاء الشرع بها من إقامة العدل بين الناس وإظهار شعائر الله –تعالي – وإقامة الحدود ونحو ذلك لا يمكن أن يقوم بها معدوم لم يوجد بعد، ولا مجهول لا يعرف.

Alasannya jelas, bahwa tujuan adanya imammah secara syar’i adalah menegakan keadilan diantara manusia, menyemarakan syiar-syiar agama Allah Ta’ala, menegakan hukum had dan lain sebagainya. Hal ini tidak mungkin dilakukan oleh pemimpin ma’dum (tidak jelas keberadaannya), tidak mungkin pula bagi pemimpin majhul (tidak dikenal) dan tidak mungkin pula bagi pemimpin yang tidak diketahui.

وإنما يقوم بها الإمام الموجود الذي يعرفه المسلمون عموماً علماؤهم وعوامهم، شبابهم وشيبهم، رجالهم ونسائهم، والذي له قدرة على إنقاذ مقاصد الإمامة، فإذا أمر برد مظلمة ردت، وإذا حكم بحد أقيم، وإذا عزر نفذ تعزيزه في رعيته ونحو ذلك مما هو من مظاهر السلطان والولاية،

Tiada lain yang dapat melakukan ini semua kecuali pemimpin yang keberadaannya diketahui oleh kaum muslimin, baik dari kalangan ulama maupun kalangan awam, kalangan pemuda maupun orang tua, lelaki maupun perempuan. Yaitu pemimpin yang mempunyai kewenangan dan kemampuan untuk menggapai tujuan-tujuan dari adanya imamah. bila ia memerintahkan untuk mengembalikan hak orang yang didzalimi maka akan dijalankan perintahnya, bila memutuskan suatu hukum akan ditunaikan, bila memvonis salah satu rakyatnya akan ditegakan dan kriteria-kriteria lainnya yang menunjukan bahwa dia mempunyai kekuasaan dan kedaulatan atas negerinya…..

Beliau berkata pula :

فمن نزل نفسه منزلة ولي الأمر الذي له القدرة والسلطان على سياسة الناس، فدعا جماعة للسمع والطاعة له أو أعطته تلك الجماعة بيعة تسمع وتطيع له بموجبها، أو دعا الناس إلي أن يحتكموا إليه في رد الحقوق غلي أهلها تحت أي مسمي كان ونحو ذلك، وولي الأمر قائم ظاهر : فقد حاد الله ورسوله، وخالف مقتضي الشريعة، وخرج من الجماعة.

Barangsiapa menganggap dirinya sebagai penguasa yang mempunyai kekuasaan dan kemampuan untuk mengatur manusia, lalu mengajak manusia untuk mendengar dan taat kepadanya atau ada sekelompok jamaah yang membai’atnya untuk wajib didengar dan ditaati, serta memprovokasi manusia agar mau bergabung bersamanya untuk mengembalikan hak-hak kepada yang berhak dengan menggunakan berbagai nama dan slogan sedangkan penguasa yang sah masih berkuasa: maka yang demikian adalah penentangan kepada Allah dan rasul-Nya juga menyelisihi aturan syariat dan telah keluar dari jamaah.

Lalu beliau berkata :

فلا تجب طاعته، بل تحرم، ولا يجوز الترافع إليه ولا ينفذ له حكم ومن آزره أو ناصره بمال أو كلمة أو أقل من ذلك، فقد أعان على هدم الإسلام وتقتيل أهله وسعى في الأرض فساداً، والله لا يحب المفسدين.

Maka tidaklah wajib untuk taat kepada orang yang seperti ini bahkan diharamkan, tidak boleh mengakuinya dan menjalankan hukumnya. Barangsiapa membantu, menolong dan mendukungnya dengan harta ataupun perkataan bahkan yang lebih kecil dari itu, maka dia telah bekerjasama untuk menghancurkan agama Islam dan membantai umatnya serta membuat onar dipermukaan bumi ini. Allah tidak suka terhadap orang yang membuat kerusakan”.

Siapakah Syaikh?

Beliau adalah Ahli hadits dari Saudi, telah meninggal karena kecelakaan tahun 1425 H. Guru-guru Syaikh Abdus Salam diantaranya adalah Syaikh Ibn Bazz, Syaikh Shaleh ibn Utsaimin, Syaikh ibn Jibrin, Syaikh Muhadits Abdullah ibn Duwaisi, Syaikh Shalih ibn Abdurrahman Al-Athram, Syaikh Abdurahman ibn Ghudayan, Syaikh Shalih ibn Ibrahim Al-Balihi, Syaikh Abdulkarim Al-Khudairi dan lainnya.

============================


Ulil Amri Atau Siapapun Tidak Berhak Menentukan Syari’at

Lagi-lagi Rikrik salah menerapkan persepsi agama. Dia belum bisa membedakan Bid'ah dan ijtihad. Berikut ini postingan dia:

===============================

Ulil amri tidak ada padanya hak untuk menentukan halal, haram, dan syari’at lain dari Din ini, baik itu dengan “hak ijtihad mereka” atau tidak. Sesungguhnya penghalalan dan pengharaman, penentuan syari’at, bentuk-bentuk ibadah dan penjelasan jumlah, cara dan waktu-waktunya, serta meletakkan kaidah-kaidah umum dalam muamalah adalah hanya hak Allah dan Rasul-Nya dan tidak ada hak bagi ulil amri di dalamnya. Sedangkan kita dan mereka dalam hal tersebut adalah sama. Maka kita tidak boleh merujuk kepada mereka jika terjadi perselisihan. Tetapi kita harus mengembalikan semua itu kepada Allah dan Rasul-Nya. [1]

Inilah makna tersembunyi dalam surat an-Nissa ayat 59, dimana kata kerja (taatilah) tidak diulangi pada ulil amri.[2]

يا أيها الذين آمنوا أطيعوا الله وأطيعوا الرسول وأولي الأمر منكم

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu”.

Imam ibn Abi al-Izz Al-Hanafi dalam Syarah Aqidah Ath-Thahawiyah hal. 252 berkata,

فتأمل قوله تعالى: { أطيعوا الله وأطيعوا الرسول وأولي الأمر منكم } - كيف قال:"وأطيعوا الرسول"، ولم يقل: وأطيعوا أولي الأمر منكم؟ لأن أولي الأمر لا يفردون بالطاعة، بل يطاعون فيما هو طاعة لله ورسوله. وأعاد الفعل مع الرسول [ للدلالة على أن من أطاع الرسول ] فقد أطاع الله، فإن الرسول صلى الله عليه وسلم لا يأمر بغير طاعة الله، بل هو معصوم في ذلك، وأما ولي الأمر فقد يأمر بغير طاعة الله، فلا يطاع إلا فيما هو طاعة لله ورسوله.

“Cermatilah bagaimana Dia berfirman : “Taatilah Allah dan taatilah Rasul” tapi tidak berfirman : “Dan taatilah ulil amri diantara kamu”, karena Ulil amri tidak ditaati sepihak, tetapi mereka ditaati dalam perkara yang terdapat didalamnya ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, kata kerja (taatilah) dalam ayat tersebut diulang kembali pada ketaatan kepada Rasul karena siapa yang taat kepada Rasul berarti dia telah mentaati Allah, sebab Rasul tidak memerintahkan selain ketaatan kepada Allah, bahkan dia terlindungi (ma’shum) dalam demikian itu, tapi ulil amri bisa jadi dia menyuruh kepada ketaatan tidak kepada Allah, maka dia tidak ditaati kecuali pada perkara ketaatan kepada Allah dan Rasulnya”.

Adapun kepada mereka yang bersikeras mengikuti kesalahan para imamnya kita patut heran :

أم لهم شركاء شرعوا لهم من الدين ما لم يأذن به الله

“Apakah mereka mempunyai para sekutu yang mensyari’atkan untuk mereka dari ad-din yang tidak dizinkan Allah?” [Asy-Syuraa : 21].

Oleh sebab itu, tatkala Abu Bakar radhiyallahu’anhu diangkat menjadi khalifah, beliau berkata:

إنما أنا متبع ولست بمبتدع

“… Sesungguhnya aku ini muttabi’ (orang yang mengikuti) bukan mubtadi’ (membuat bid’ah)”.[3]

Qadhi Iyadh rahimahullahu dalam Kitab Tartib Madarik Wa Taqrib Masalik (1/166), berkata :

فقال فتيان: حدثني مالك أن الإمام لا يكون إماماً أبداً إلا على شرط أبي بكر الصديق رضي الله تعالى عنه،

Berkata Fatayan : menceritakan kepada saya Malik : “Sesungguhnya tidak seorang pun yang diangkat menjadi imam, kecuali dia harus memenuhi syarat Abu Bakar Shiddiq radhiyallahu Ta’ala’anhu, (lalu Malik menyebutkan perkataan Abu Bakar, diantaranya perkataan diatas)”.[4]

Demikianlah seharusnya seorang imam, tidak ada hak baginya menentukan dalam ad-din ini sesuatu yang baru, apa yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wasalam telah mencukupi dan sempurna. Berkata Imam Ad-Darimi dalam Sunan (no. 223):

أخبرنا موسى بن خالد حدثنا عيسى بن يونس عن الأعمش عن عمارة ومالك بن الحارث عن عبد الرحمن بن يزيد عن عبد الله قال : القصد فى السنة خير من الاجتهاد فى البدعة

Mengkhabarkan kepada kami Musa ibn Khalid, menceritakan kepada kami ‘Isa ibn Yunus dari Al-A’masy dari ‘Umaroh dan Malik ibn Al-Harits dari Abdurrahman ibn Yazid dari Abdullah (ibn Mas’ud) berkata, “Beramal sekedarnya dengan mengikuti sunnah, adalah lebih baik daripada berijtihad dalam bid’ah”.[5]

Adapun dalam urusan keduniawian, -yang tidak dikehendaki pahala dengannya- maka imam lebih tahu kemaslahatan ru’yahnya. Berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wasalam,

أنتم أعلم بأمر دنياكم

“Kalian lebih tahu urusan dunia kalian”.[6]

Adapun dalam urusan ibadah -yang dikehendaki pahala dengannya- adalah hak Allah dan rasul-Nya, kita semuanya tanpa kecuali hanya ‘itiba. Oleh sebab itu tatkala Syaikh Muhammad Abdurrahman al-Mubarakfuri dalam Tuhfatul Ahwadzi (4/393) berkata :

وفيه أنّ الإمام إذا أمر بمندوب أو مباح وجب.

“Dan bahwa sesungguhnya imam ketika perintah dengan mandub [7] atau mubah [8], maka wajib (taat kepadanya)”.

Beliau mendahului perkataanya itu dengan perkataan,

تجب بل يحرم إذ لا طاعة لمخلوق في معصية الخالق

“Haram dan wajib tidak ta’at kepada mahluk dalam ma’shiat kepada Khaliq”.

Yang dikehendaki adalah wajibnya taat dalam perintah mandub dan mubah itu sebab tidak ada dalam keduanya (mandub dan mubah) dosa (ma’shiat). Adapun jika imam perintah ma’shiat kepada Allah dan rasul-Nya, maka tidak boleh taat kepadanya. Sedangkan bid’ah termasuk dalam ma’shiat, bahkan dolalah (sesat), dan tiap dolalah itu di neraka,[9] yaitu pelakunya.

Kami ingatkan kembali makna bid’ah ini dari jilid pertama, dari perkataan Asy-Syathibi dalam Al-I’tishom: “Bid’ah adalah satu cara dalam agama ini yang dibuat-buat, bentuknya menyerupai ajaran syari’at yang ada, tujuan dilaksanakannya adalah sebagaimana tujuan syari’at”.[10]

Perkataan beliau “…tujuan dilaksanakannya (bid’ah) adalah sebagaimana tujuan syari’at”. Maknanya bahwa jika itu dilihat sebagai kebiasaan biasa tidak akan mengandung kebid’ahan apa-apa, namun bila dilakukan dalam wujud ibadah, atau diletakkan dalam kedudukan sebagai ibadah yang dikehendaki pahala dengannya, ia bisa dimasuki oleh bid’ah.

Mudah-mudahan penjelasan ini mencukupi, untuk membantah orang-orang yang mencari-cari pembenaran dari syubhat-syubhat, hanya untuk mendukung bid’ah yang dilakukan imam-imamnya. Kita berdoa kepada Allah Ta’ala agar menetapkan kita dalam kebenaran dan keikhlasan.


===============================

Kebetulan, ada rekan kita yang sudah menuliskan panjang lebar mengenai perbedaan ihtihad dan bid'ah di link berikut: http://teguh354.blogspot.com/2009/12/bidah-dan-ijtihad.html. Saya tuliskan kembali untuk menegaskan.


Bid'ah dan Ijtihad

Dewasa ini banyak kelompok-kelompok muslim yang sering mengangkat isu tentang bid'ah. Namun efek dari penjelasan yang kurang detail dari sang asatidz, atau mungkin karena sang thulab yang memang kurang "nyambung" dengan penjelasan asatidz-nya, menyebabkan terminologi bid'ah menjadi sangat rancu bahkan cenderung absurd di masyarakat belakangan ini. Masih banyak orang (awam) yang belum bisa membedakan antara bid'ah, maksiat, syirik, makruh, mubah, bahkan ijtihad.

Kali ini akan saya tulis sedikit mengenai bid'ah dan ijtihad, karena perkara ini saya nilai hampir serupa/mirip, meskipun sebenarnya bedanya jauh sebagaimana langit dan sumur sat (sumur yang kering).

Bid'ah

Menurut Imam Asy-Syatibi dalam I'tishom, bid'ah bukan saja merupakan penambahan terhadap syariat/kententuan dalam agama, khususnya yang berkaitan dengan ibadah mahdhoh (ibadah murni), tetapi juga pengurangan dan modifikasi terhadap perkara ibadah mahdhoh tersebut. Bahkan menurutnya, orang yang mengerjakan bid'ah, secara tidak sadar, orang itu telah jatuh dalam kekufuran. Sebagaimana dalil berikut:

لاَ يَقْبَلُ اللَّهُ لِصَاحِبِ بِدْعَةٍ صَوْمًا وَلاَ صَلاَةً وَلاَ صَدَقَةً وَلاَ حَجًّا وَلاَ عُمْرَةً وَ لاَ جِهَادًا وَلاَ صَرْفًا وَلاَ عَدْلاً يَخْرُجُ مِنَ الإِسْلاَمِ كَمَا تَخْرُجُ الشَّعَرَةُ مِنَ الْعَجِين
Allah tidak akan menerima puasanya orang yang berbuat bid’ah: shalatnya, shodaqahnya, hajinya, umrahnya, jihadnya, amalan fardhunya, dan amalan sunnahnya, ia keluar dari islam sebagaimana keluarnya helai rambut dari tepung adonan (bahasa Jawa: jeladren).
- rowahu Ibnu Maajah

أَبَى اللَّهُ أَنْ يَقْبَلَ عَمَلَ صَاحِبِ بِدْعَةٍ حَتَّى يَدَعَ بِدْعَتَهُ
Allah menolak untuk menerima amal perbuatan bid’ah hingga dia meninggalkan bid’ahnya.
- rowahu Ibnu Maajah

Imam Muhammad Abdurrohman Al-Mubarokfuri, yang menyusun kitab syarah Sunan at-Tirmidzi, menerangkan lebih gamblang lagi bahwa bid'ah adalah suatu jalan di dalam agama yang dibuat-buat tanpa dalil, yang menyerupai syariat agama, dikehendaki atasnya untuk "ngepol-ngepol-kan" dalam beribadah kepada Alloh.

Maksudnya adalah; semua perbuatan yang menyerupai ibadah namun tidak ada dalilnya dari Al Quran, Al Hadits, maupun fatwa Khulafaur-Rosyidiin. Biasanya orang yang mengerjakannya bertujuan supaya lebih khusu' atau lebih mantap. Pengertian bid'ah ini terbatas pada bentuk ibadah mahdhoh (ibadah murni) semisal sholat, wudhu, adzan, puasa, haji, dan lain-lain.

contoh:
Pengucapan "nawaitu..." sebelum berpuasa, wudhu, "ush-sholli..." sebelum sholat, atau menabuh bedug terlebih dahulu sebelum dimulainya adzan, dan lain-lain.

Atau bisa jadi itu adalah perkara yang menyerupai syariat Islam, yang dimaksudkan agar lebih khusu' dan pol ibadahnya, semisal perayaan 10 harian, atau 100 harian yang dikhususkan bagi orang yang telah meninggal dunia, meski di dalam acara tersebut terkandung ucapan-ucapan yang baik semisal ucapan tahlil dan pembacaan surat Yaasin yang ditujukan untuk si mayit. Dan lain-lain.

ciri-ciri umum:

1. perkara baru ini melekat pada bentuk-bentuk ibadah mahdhoh, dan bila tanpanya, ibadah mahdhoh tersebut dianggap tidak afdhol bahkan tidak sah. bentuknya bisa perkataan/lisan maupun perbuatan.

2. meyakini bahwa perkara tersebut adalah suatu ibadah wajib yang tidak mungkin dimansukh, karena dianggap baik atau pol.

3. karena merupakan syarat, biasanya perkara baru ini dilakukan sebelum atau ketika seseorang melakukan ibadah mahdhoh tertentu, bukan setelah ibadah mahdhoh dilakukan.

Adapun bila dikerjakan setelah ibadah mahdhoh, itu tidak selalu berkonotasi bid'ah. Sebagai contoh, syaikh Abdul Aziz bin Baaz (Ketua Komisi Riset dan Fatwa Islam, Saudi Arabia) mengatakan bahwa berjabat tangan setelah sholat itu hanya makruh. Tetapi saat ini rancu, mengingat banyak orang yang mengatakan bahwa hal tersebut merupakan bid'ah yang terlarang. Hal ini tentunya serupa dengan orang yang dengan mudahnya berfatwa bahwa memberikan siraman rohani (taushiyah/nasehat basyiron wa nadziron) kepada para hadirin di mesjid/musholla setelah sholat fardhu dihukumi sebagai bid'ah.

Ijtihad

Ijtihad adalah suatu usaha untuk mencari suatu hukum dari suatu permasalahan yang sifatnya kontemporer (tidak terjadi pada masa sebelumnya) dengan menggunakan alat-alat ijtihad dalam beristinbath (proses menggali dalil-dalil yang tegas berdasar kaidah-kaidah fiqih/ushul fiqih dalam Qur'an, Hadits, dan ijma' Khulafaur-Rosyidiin).

Misalnya, pada zaman Rosuululloh shollallohu 'alaihi wasallam umat Islam yang berhaji ke baitulloh tidak seperti saat ini yang jumlahnya berjuta-juta. Akibatnya seringkali sewaktu proses jumroh, banyak ummat muslim yang meninggal/teraniaya karena terinjak-injak orang yang ingin melempar jumroh. Maka saat ini jamarat dibentuk sedemikian rupa dengan posisi yang lebih lebar dan aman daripada sebelum-sebelumnya. Ini demi kepentingan dan kemashlahatan ummat dalam melakukan ibadah kepada Alloh.

Hal semacam ini (yang telah disepakati bersama oleh para ulama dan ahli ilmu) tidak termasuk bid'ah. Ini adalah suatu bentuk respon zaman yang memang diperlukan untuk mengatur dan menyelamatkan nyawa ummat yang seringkali melayang dalam prosesi melempar jumroh.














Siapakah yang berhak berijtihad?

Yang berhak melakukan ijtihad adalah ulil amri dan para ulama/ahli ilmu yang sangat mengerti alat-alat ijtihad semisal fasih berbahasa Arab, faqih dalam agama, banyak pengetahuan agamanya (tidak sempit), dapat dipercaya, mengutamakan mashlahat, dan bukan termasuk orang yang meninggalkan sholat 5 waktu.

Jenis-jenis ijtihad:

1. ijma', hasil kesepakatan para ulama dan ahli agama secara bermusyawarah untuk diikuti ummat.

2. qiyas, penyamaan suatu perkara yang belum pernah terjadi dengan perkara yang sebelumnya pernah terjadi, karena dianggap mempunyai kesamaan sifat/karakteristik. qiyas diambil dalam keadaan darurat. qiyas banyak dilakukan oleh para ahli ilmu (semisal imam 4) sebelum era pembukuan kitab-kitab hadits oleh para ahli hadits.

3. ihtisan, suatu fatwa yang dikeluarkan oleh seorang ahli fiqih, karena ia merasa bahwa hal tersebut adalah benar.

4. mushalat murshalah, tindakan memutuskan masalah yang tidak ada naskhnya dengan pertimbangan kepentingan hidup manusia berdasarkan prinsip menarik manfaat dan menghindari kemudharatan.

5. sududz dzariah, tindakan memutuskan suatu yang mubah menjadi makruh atau haram demi kepentingan umat (muttawari'). semisal disamakannya hukum gambar mentol (timbul) dengan gambar yang tidak mentol menjadi haram demi alasan muttawari', karena banyak terjadi ikhtilaf di kalangan para ulama.

6. istishab, tindakan menetapkan berlakunya suatu ketetapan sampai ada alasan yang bisa mengubahnya. hal ini banyak dilakukan oleh para ahli ilmu (semisal imam 4) sebelum era pembukuan kitab-kitab hadits oleh para ahli hadits.

7. urf, tindakan menentukan masih bolehnya suatu adat-istiadat dan kebiasaan masyarakat setempat selama kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan aturan-aturan prinsipal dalam Qur'an dan Hadits. Misalnya: tradisi mudik pulang kampung menjelang Idul Fitri tiba, dan lain-lain.

Adapun dari masing-masing tujuh jenis ijtihad diatas, semuanya tidak boleh bertentangan dengan hukum agama atau kaidah-kaidah fiqih/ushul fiqih yang sudah jelas, tegas, dan terang (sharih).

Ijtihad yang ada pada masa kini hakikatnya tidak akan lari dari dalil-dalil sebagai berikut:

تِلْكَ أُمَّةٌ قَدْ خَلَتْ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَلَكُم مَّا كَسَبْتُمْ وَلاَ تُسْأَلُونَ عَمَّا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Itulah umat terdahulu, bagi mereka adalah apa yang mereka kerjakan (perjuangkan), dan bagimu adalah apa yang kamu kerjakan (perjuangkan). Dan kamu tidak dimintai pertanggungjawaban tentang apa yang mereka kerjakan.
- Surat Al Baqoroh 134

إِنَّ اللّهَ لاَ يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُواْ مَا بِأَنْفُسِهِمْ
...sesungguhnya Alloh tidak akan merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mau merubah (memperjuangkan) keadaan diri mereka sendiri...
- Surat Ar Ro'du 11

Muncul pertanyaan, "apakah ijtihad itu harus selalu sama di masing-masing negara yang sikon-nya belum tentu sama?". Kiranya ada baiknya pula kita perhatikan tanggapan dari salah satu ulama khalaf asal jazirah Arab, syaikh Ibnu Utsaimin, mengenai ijtihad sebagai berikut:

Pertanyaan:
Kapan diakuinya perbedaan pendapat dalam masalah agama? Apakah perbedaan pendapat terjadi pada setiap masalah atau hanya pada masalah-masalah tertentu? Kami mohon penjelasan.

Jawaban:
Pertama-tama perlu diketahui, bahwa perbedaan pendapat di kalangan ulama umat Islam ini adalah yang terlahir dari ijtihad, karena itu, tidak membahayakan bagi yang tidak mencapai kebenaran. Nabi صلی الله عليه وسلم telah bersabda,

إِذَا حَكَمَ اْلحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ
"Jika seorang hakim memutuskan lalu berijtihad, kemudian ia benar, maka ia mendapat dua pahala. Dan jika ia memutuskan lalu berijtihad kemudian salah, maka ia mendapat satu pahala."[1]

Maka, bagi yang telah jelas baginya yang benar, maka ia wajib mengikutinya. Perbedaan pendapat yang terjadi di antara para ulama umat Islam tidak boleh menyebabkan perbedaan hati, karena perbedaan hati bisa menimbulkan kerusakan besar, sebagaimana firman Allah,

وَلاَ تَنَازَعُواْ فَتَفْشَلُواْ وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ وَاصْبِرُواْ إِنَّ اللّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ
"Dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar." (Al-Anfal: 46).

Perbedaan pendapat yang diakui oleh para ulama, yang kadang dinukil (dikutip) dan diungkapkan, adalah perbedaan pendapat yang kredibel dalam pandangan. Adapun perbedaan pendapat di kalangan orang-orang awam yang tidak mengerti dan tidak memahami, tidak diakui. Karena itu, hendaknya orang awam merujuk kepada ahlul ilmi, sebagaimana ditunjukkan oleh firman Allah سبحانه و تعالى,

فَاسْأَلُواْ أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
"Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui." (An-Nahl: 43).

Kemudian pertanyaan penanya, apakah perbedaan ini terjadi dalam setiap masalah?

Jawabnya:
Tidak demikian. Perbedaan ini hanya pada sebagian masalah. Sebagian masalah disepakati, tidak ada perbedaan, alhamdulillah, tapi sebagian lainnya ada perbedaan pendapat karena hasil ijtihad, atau sebagian orang lebih tahu dari yang lainnya dalam menganalisa nash-nash Al-Kitab dan As-Sunnah. Di sinilah terjadinya perbedaan pendapat. Adapun dalam masalah-masalah pokok, sedikit sekali terjadi perbedaan pendapat.

[1] HR. Al-Bukhari dalam Al-I'tisham (7325).
Rujukan: Dari fatwa Syaikh Ibnu Utsaimin yang beliau tanda tangani. Disalin dari buku Fatwa-Fatwa Terkini Jilid 2, penerbit Darul Haq.

Demikianlah sekilas tulisan saya mengenai bid'ah dan ijtihad. Semoga kita semua tidak rancu lagi dalam membedakan antara bid'ah dan ijtihad. Bilamana masih bimbang atau belum bisa membedakan mana bid'ah mana ijtihad, maka segeralah mendekat kepada para ulama dan ahli ilmu, agar kita tidak terkecoh dalam mengarungi roda zaman yang penuh dengan hal-hal yang syubhat. Mudah-mudahan Alloh senantiasa memberikan manfaat dan barokahNya. Amiin.